Edy menjelaskan, bila korban sudah tidak memiliki kedua orang tua dan belum mempunyai anak, pengambilan sampel DNA dapat dilakukan dengan cara lain.
"Kami cari ini orang (korban) tinggal dimana, biasanya ada pakaian yang belum dicuci, sikat gigi yang sering dipakai, malah dari sisa bekas rokok juga bisa dilacak DNA," ucapnya.
Kemudian, data primer lain seperti sidik jari dan data pemeriksaan gigi dapat diperoleh dari orang terdekat korban.
"Sidik jari bisa dari KTP ataupun ijazah, bahkan dari gelas yang sering dipakai juga bisa," ujarnya.
Sementara itu, menurut Edy, data Postmortem merupakan data yang diambil setelah petugas berhasil menemukan dan mengevakuasi korban bencana.
"Postmortem itu menangani korbannya setelah meninggal atau data sesudah dia meninggal," ucapnya.
Data postmortem meliputi eperti sidik jari, golongan darah, konstruksi gigi dan foto diri korban pada saat ditemukan lengkap dengan barang-barang yang melekat di tubuhnya dan sekitarnya, bahkan termasuk isi kantong pakaiannya.
Setelah data antemortem dan postmortem lengkap, maka tim DVI akan merekonsiliasi atau mencocokkan kedua data tersebut untuk mengidentifikasi korban bencana.
"Rekonsiliasi itu mencocokkan data antemortem dan postmortem, hasilnya dua, yaitu teridentifikasi atau tidak," ujarnya.
Bila korban tidak teridentifikasi maka tim DVI akan mendalami kembali dengan mencari ciri-ciri spesifik korban, seperti bentuk tato dan bekas luka.
Waktu yang dibutuhkan untuk proses identifikasi ini tidak dapat ditentukan cepat lambatnya, seluruh proses tersebut tergantung dari kondisi jenazah saat ditemukan.
Jenazah sudah tidak dapat diidentifikasi manakala kondisinya sudah membusuk atau terbakar hingga kering.
"Dalam proses identifikasi DVI ini bukan cepat tapi kepastian dan ketepatan supaya jenazah bisa dikembalikan ke keluarga dan dimakamkan secara layak sesuai dengan agama," terang dia.