TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman mengatakan pihaknya masih menunggu salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta yang memenangkan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dalam gugatan aturan pelarangan pengurus partai sebagai calon anggota DPD RI.
Putusan PTUN Jakarta itu memerintahkan KPU RI membatalkan Surat Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 dan memasukkan OSO dalam DCT (Daftar Calon Tetap) karena tidak ada nama OSO dan SK KPU tersebut.
Namun, Arief mengatakan pihaknya masih harus menunggu salinan putusan PTUN itu untuk melaksanakannya.
“Sampai sekarang kami baru menerima salinan putusan mahkamah konstitusi (MK) dan mahkamah agung (MA), kami masih akan menunggu salinan putusan PTUN, agar sekalian kami pelajari baru kemudian kami membuat keputusan,” ujar Arief, Sabtu (17/11/2018).
Hal itu disampaikan Arief usai menjadi pembicara dalam Koordinasi Nasional KPU RI di Ecovention Ancol, Jakarta Utara.
Arief pun menegaskan pihaknya tak akan gegabah membuat keputusan yang tidak menyandingkan ketiga salinan keputusan itu.
“Pokoknya nanti kami rumuskan setelah menerima putusan PTUN,” pungkasnya.
Upaya Hukum Oso Dipertanyakan
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mempertanyakan sejumlah upaya hukum yang dilakukan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang alias OSO.
Upaya hukum itu dilakukan setelah KPU RI tidak memasukkan OSO kedalam Daftar Calon Sementara (DCS) DPD RI untuk Pemilu 2019.
Ditambah lagi ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD RI.
OSO mengajukan gugatan ke Bawaslu RI, Mahkamah Agung, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun, langkah itu tidak diikuti pengurus partai politik lainnya yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI.
"Ada putusan MK menimbulkan syarat baru supaya mundur dari kepengurusan parpol. Dengan itu maka di atas 200 orang bisa memenuhi itu," ujarnya di acara diskusi Sikap KPU dan Potensi Gangguan Pemilu Paska Benturan Putusan MK dan MA serta PTUN dalam Pencalonan Anggota DPD, di Jakarta Pusat, Minggu (18/11/2018).
"Calon lain bisa ada yang mundur ada yang memenuhi syarat tambahan bukan pengurus parpol," tambahnya.
Setelah putusan MK dikeluarkan pada 23 Juli 2018, maka putusan lembaga itu secara seketika berlaku.
Sehingga, menurut Bivitri, tidak ada alasan menunda berlakunya putusan tersebut.
Apalagi, kata dia, KPU RI, selaku lembaga penyelenggara pemilu sudah mengirimkan surat pemberitahuan adanya putusan itu kepada KPU di tingkat provinsi.
Sebagai konsekuensi, pengurus parpol yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI harus membuat surat pengunduran diri dari parpol tersebut.
"Jangan lupa tahap pemilu baru berhenti tahap pendaftaran ketika DCT diumumkan. Putusan MK keluar waktu DCS dan jeda mulai putusan MK keluar sampai DCT lama berminggu-minggu dan ini KPU mengirim surat ke semua calon DCS. Soal retro aktif tidak, karena DCT belum diumumkan," kata dia.
Sehingga, dia menambahkan, keputusan KPU RI untuk tidak memasukkan OSO di DCT untuk anggota DPD RI di Pemilu 2019 sudah tepat.
"Dari pendaftaran ke kampanye, pendaftaran tutup di DCT. Dari tafsiran itu bisa dilihat bahwa selesai tahap itu DCT bukan DCS. KPU mencoret sudah dalam konteks UU Pemilu," katanya.
KPU Diminta Ikuti Putusan MK
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai KPU RI sedang menghadapi problem karena dihadapkan pada putusan berbeda antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
MK dan MA mengeluarkan putusan berbeda mengenai seorang pengurus partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI untuk Pemilu 2019.
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah mulai berlaku sejak dibacakan di sidang pembacaan putusan pada 23 Juli 2018.
Namun, MA mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan Oesman Sapta terkait peraturan KPU 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah, dengan nomor registrasi 65 P/HUM/2018, tanggal 25 September 2018 lalu.
"KPU bingung apakah mematuhi putusan MK atau mengikuti putusan MA. Ini di dua persimpangan jalan. KPU berdiri di tengah-tengah. Kedua-duanya saling berseberangan, karena ini dua pilihan," ujar Feri, di acara diskusi Sikap KPU dan Potensi Gangguan Pemilu Paska Benturan Putusan MK dan MA serta PTUN dalam Pencalonan Anggota DPD, di Jakarta Pusat, Minggu (18/11/2018).
Untuk itu, dia menyarankan, KPU agar memilih salah satu dari dua putusan itu.
Hal ini, karena dia menilai, dua putusan itu berbeda substansi.
Namun, dia mendorong, agar putusan MK yang dipilih.
Menurut dia, memilih putusan MK membuat KPU tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan putusan MK tersebut.
"Jadi ada tiga hal yang dipatuhi KPU kalau mematuhi putusan MK. UUD, UU Pemilu dan putusan MK. Sementara kalau KPU memilih jalan yang berbeda maka KPU akan menentang tiga ketentuan itu," tegasnya.
Di kesempatan itu, dia melihat, MA tidak memahami sifat putusan MK mengenai pengurus parpol dilarang mendaftarkan diri sebagai caleg DPD.
Padahal, berdasarkan Pasal 24 huruf c UUD 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, sifat putusan MK itu final dan bainding.
"Mau diubah mau tidak dengan sendirinya putusan itu mengikat. Kami akan bertanya kepada MA, apakah MA tidak salah memahami putusan MK," kata dia.
Belakangan, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan permohonan gugatan Oesman Sapta Odang di majelis persidangan PTUN, Jakarta, Rabu (14/11/2018) siang.
Objek gugatan OSO terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU-IX/2018 tanggal 20 September 2018, Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.
Feri menilai aneh putusan PTUN mengabulkan gugatan permohonan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang yang menggugat SK KPU tersebut.
"Putusan PTUN juga menurut saya agak aneh, karena mengabaikan putusan MK. Putusan TUN itu meminta KPU kemudian membatalkan lalu memutuskan pembatalan SK KPU dan meminta khusus agar OSO dimasukkan dalam list dalam daftar calon tetap anggota DPD," katanya.
Majelis Hakim PTUN Kabulkan Gugatan Oso
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan permohonan gugatan Oesman Sapta Odang di majelis persidangan PTUN, Jakarta, Rabu (14/11/2018) siang.
Oesman Sapta Odang, selaku penggugat, dengan nomor perkara 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT. Di kesempatan itu, Edi Septa Surhaza bertindak sebagai hakim ketua, Susilowati Siahaan, hakim anggota I, dan Andi Muh Ali Rahman, hakim anggota II
Objek gugatan OSO terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU-IX/2018 tanggal 20 September 2018, Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.
"Iya menang tadi siang putusan. Keputusan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya," ujar Gugum, penasihat hukum Oesman Sapta Odang, saat dikonfirmasi, Rabu (14/11/2018).
• OTT KPK Jaring Bupati Pakpak Bharat: Amankan Uang Ratusan Juta, Sosok Remigo Hingga Reaksi Demokrat
• Kalah dari Thailand, Timnas Indonesia Perpanjang Tren Buruk di Stadion Rajamangala
• Persib Tumbang 3-0 dari PSIS Semarang: Gagal Geser Persija Jakarta Hingga Kekecewaan Bobotoh
Dia menjelaskan, majelis hakim mengabulkan gugatan seluruhnya berupa SK Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU-IX/2018 dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut.
Dan, memerintahkan KPU menerbitkan SK DCT baru yang mencantumkan nama OSO.
"Memerintahkan KPU menerbitkan SK DCT baru yang mencantumkan nama OSO," kata dia.
Setelah majelis hakim mengabulkan putusan itu, pihaknya akan menunggu salinan putusan. Kemudian, akan menindaklanjuti kepada KPU RI.
"Kami menunggu salinan. Besok, baru ke KPU," tambahnya. (Tribunnews.com)