Meski demikian, setelah direspons publik terkait ide itu maka tidak jadi diterapkan, yang berarti harus dipilah terlebih dahulu.
"Itu kan responsif, siap mengajukan ide, siap menampung pendapat publik," tutur Mahfud MD.
Lalu, Mahfud MD mengatakan, rencana kebijakan KPU itu dilihatnya sebagai responsif, bukan sebagai reaktif.
Dari beberapa kemunduran pasca reformasi, lanjut Mahfud MD, ada banyak kemajuan, antara lain, KPU yang independen dan bisa diawasi.
"Ini hrs disyukuri. Segi2 negatif reformasi tentu ada, tp wajar. Masak, bagus semua?," tegas Mahfud MD.
Dilansir dari Kompas.com, berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015 soal hak pilih disabilitas mental, disebutkan bahwa, hanya penderita gangguan jiwa yang dinilai mampu menggunakan hak pilihnya yang bisa ikut dalam pemungutan suara di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Sementara itu, berdasarkan surat keterangan dokter pemilih penyandang disabilitas mental dinyatakan terganggu jiwanya, maka pemilih itu tidak dimasukkan dalam DPT.
Meski demikian, dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tidak disebutkan bahwa pemilih penyandang disabilitas mental tidak bisa dimasukkan dalam DPT.