Penyandang Tuna Netra: Orangtua Jangan Pandang Rendah Anak Disabilitas

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hamzah (39) saat ditemui di kediamannya, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (7/3/2019).

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, KRAMAT JATI - Dipandang rendah atau bahkan dikucilkan seseorang karena dianggap tak memiliki kemampuan dan jadi beban bagi orang lain tentu tak menyenangkan, terlebih bila hal tersebut dilakukan keluarga.

Hal ini mungkin banyak dirasakan penyandang disabilitas di Indonesia, keluarga yang seharusnya jadi 'rumah' dan menerima mereka setiap waktu justru tak lebih dari sekedar hubungan darah tanpa makna.

Hamzah (39), seorang tuna netra mengatakan banyak keluarga penyandang disabilitas yang tak dapat menerima perbedaan kemampuan anggota keluarganya dan justru memandang rendah.

"Banyak orangtua memandang rendah kemampuan anak yang disabilitas. Kalau menerima ya mungkin menerima, tapi enggak sepenuhnya. Ibaratnya disabilitas dianggap cuman butuh makan doang, jadi dikasihani. Enggak dianggap bisa melakukan sesuatu seperti orang lain," kata Hamzah di kediamannya, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (7/3/2019).

Kehilangan indera penglihatan sejak usia 7 tahun dan bercengkrama dengan teman disabilitas lain membuatnya mengerti pentingnya peran keluarga dalam memberi dukungan.

Dia mencontohkan pengalaman satu temannya yang tak hanya dipandang rendah kedua orangtuanya sendiri tapi juga aib keluarga yang harus disembunyikan.

"Ada satu teman tunanetra saya, dia cerita kalau orangtuanya ada tamu dia disuruh ngumpet di kolong ranjang. Kalau tamunya lama di rumah dia sampai disuruh makan di bawah ranjang. Jadi teman saya diperlakukan seperti aib saja," ujarnya.

Cerita kelam yang dia dengar langsung dari temannya itu membuat Hamzah bersyukur memiliki ayah dan ibu yang sepenuhnya menerima dan tak memandang rendah kemampuan dia.

Kasih sayang dan dukungan orangtua agar dia mampu melakukan segala sesuatu secara mandiri membuat Hamzah tak merasa depresi saat kehilangan penglihatan.

"Teman saya bilang, pas dia kehilangan penglihatan dia seperti enggak punya tujuan hidup, dia depresi. Untung orangtua saya selalu mendukung saya, mereka enggak pernah nyebut saya buta. Jadi saya enggak depresi waktu jadi tunanetra," tuturnya.

Berkat orangtuanya juga Hamzah mengerti pendidikan dan status seseorang dalam masyarakat tak menjamin kebaikan dan hati dan pemikiran seseorang.

Pria yang berprofesi jadi tukang urut ini mencontohkan kedua orangtuanya yang kurang dalam pendidikan dan harta namun mendukungnya saat merantau dari Makassar ke Jakarta untuk belajar pijat.

"Ibu saya cuman ibu rumah tangga biasa, ayah saya tukang bangunan di kampung. Pendidikan mereka enggak tinggi tapi mereka selalu mendukung saya. Waktu saya pergi ke Jakarta untuk belajar pijat mereka mendukung. 'Kamu pasti bisa', itu kata mereka," kenang Hamzah.

Dia berharap penyandang disabilitas usia muda tak kehilangan asa, memiliki cita-cita tinggi dan mampu mewujudkannya dengan kerja keras.

Hamzah Berharap Penyandang Disabilitas Muda Miliki Cita-cita Tinggi

Gencarkan Trotoar Ramah Disabilitas, Pemkot Jakpus Janji Tegas Tertibkan Pengganggu Pejalan Kaki

Namun tanpa dukungan keluarga dan masyarakat dia pesimis penyandang disabilitas dapat menunjukkan kemampuannya dan merubah stigma negatif yang selama ini dipelihara.

"Orangtua harus percaya kalau anak mereka yang disabilitas bisa bekerja. Jangan karena mereka mampu kasih makan terus anak mereka disuruh di rumah saja. Seakan disabilitas itu enggak bisa apa-apa," lanjut dia.

Berita Terkini