Ia mencontohkan, untuk kasus teror, seperti bom, pihak kepolisian akan dengan sangat mudah segara menangkap pelaku.
Sedangkan, sampai saat ini pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan belum juga terungkap.
"Kalau ada Bom molotov pagi, sore ditangkap pelakunya. Tapi (kasus) Novel Baswedan sudah dua tahun lebih tidak diketahui siapa tersangka," ujarnya.
Ia pun menyinggung dugaan kematian ratusan petugas KPPS yang meninggal dalam waktu relatif dekat.
Menurutnya, seharusnya pemerintah langsung melakukan otopsi untuk mengungkap penyebab kematian mereka.
"Ada ibu negara yang meninggal, semua televisi pagi, siang, sore, dan malam memberitakan. Sedangkan, 700 orang lebih KPPS meninggal dalam waktu relatif sama tidak ada pemberitaan berita duka dari kelapa negara," kata Abdullah.
"Bahkan, Menteri Kesehatan melarang untuk otopsi," tambahnya.
Untuk itulah, ia berinisiatif menjadi penggerak massa guna memberikan dukungan moral kepada Mahkamah Konstitusi (MK) demi penegakan hukum yang adil.
Mantan ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) ini pun menyebut hakim sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga harus bersikap adil dalam mengambil keputusan sesuai fakta yang ada.
"Kami ingin ketuk hati Ketua MK yang menggunakan ayat Alquran saat pidato pelantikan supaya dilaksanakan," ucapnya.
"Bila tidak, murka Allah bagi orang yang mengatakan tapi tidak melaksanakan," tambahnya.
Klaim 2 Ribu Orang
Sejak pagi, massa dari berbagai elemen mulai berdatangan di sekitar kawasan patung kuda yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.
Mereka datang untuk mengawal sidang pertama gugatan Pilres 2019 atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Abdullah Hehamahua selaku koordinator aksi menyebut, hari ini akan ada sekira 2.000 orang yang hadir untuk menggelar aksi di kawasan patung kuda.