"Penghasilan nenek kan enggak tentu. Pas mama di Depok juga uangnya engga dikirim karena enggak cukup gaji dia murah. Pas balik mama juga jadi pemulung. Makanya enggak ada biaya buat lanjut sekolah," ungkapnya.
Selain biaya, Ira mengatakan setahun lalu ia tak mendapatkan sekolah negeri.
Sehingga langkahnya untuk melanjutkan sekolah semakin berat.
Keadaan pun semakin diperparah dengan persyaratan administrasinya yang tak lengkap.
"Ini anak sebenarnya pengin sekolah. Tapi dia enggak ada KK. Saya mau masukin ke KK saya sama engkongnya ribet banget. Diurus berbulan-bulan tapi enggak jadi-jadi di RT,".
"Makanya ya sudahlah nih anak enggak sekolah. Dari segi biaya ke swasta saya juga enggak ada uangnya. Saya mulung dr pagi sampai sore, lanjut abis isya sampai tengah malam juga cuma cukup buat bayar kontrakan sama makan aja," jelas Nenek Ira.
Akhirnya, sejak sebulan lalu Ira memutuskam mengubur impiannya dan ia memilih bekerja di pabrik konveksi yang tak jauh dari rumah.
Sehingga rutinitas paginya setelah membereskan rumah, ia akan bersiap menuju pabrik konveksi dan bekerja sampai sore hari.
"Ya sudah sebulan lalu, saya kerja aja di pabrik dompet, tas dan lain-lain itu. Seminggu libur sekali tapi jarang sih libur. Saya dibayar Rp 150 ribu perminggu. Uangnya nanti saya ambil Rp 80 ribu sisanya buat nenek, mama sama kakak aja," jelasnya.
Kerap menangis
Semangat belajar dan keinginan sekolah yang masih menggebu tampak jelas terlihat ketika melihat sosok Ira.
Gadis belia yang tampak malu-malu ini selalu berucap ingin sekolah ketika ditanya berbagai macam pertanyaan.
Ia pun bercerita kerap kali menangis di pagi hari ketika melihat tetangganya berangkat sekolah.
"Di sini banyak yang sekolah, itu depan rumah sekolah. Dia nih kalau aku lagi bebenah masih gelap sudah berangkat. Di situ sih aku suka nangis," katanya.
"Kenapa aku enggak bisa sekolah? Kapan aku bisa sekolah?," ucapan itu selalu terbersit dalam benaknya ketika menangis.