TRIBUNJAKARTA.COM - Suasanya politik Indonesia kembali bergejolak usai Menteri Sosial Juliari Batubara terjerat kasus korupsi dana bansos Covid-19.
Dua minggu sebelumnya, publik juga dikejutkan dengan Edhy Prabowo yang merupakan Menteri Kelautan dan Perikanan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK 25 November 2020 lalu.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (Sekjen PPP) Arsul Sani, mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menetapkan pengganti dua menteri yang tersandung kasus korupsi secara definitif.
Menurut Arsul, hal itu sekaligus bisa menjadi momen untuk melakukan reshuffle kabinet.
"Terkait dengan terseretnya dua anggota kabinet dalam kasus hukum di KPK, PPP mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk segera mengisi pos dua menteri ini segera secara definitif," kata Arsul kepada Tribunnews, Senin (7/12/2020).
"Tentu pengisian dua pos menteri ini bisa sekaligus menjadi ruang untuk reshufle kabinet yang memang tidak ditutup kemungkinannya oleh presiden," imbuhnya.
Kendati demikian, Wakil Ketua MPR RI ini menilai, reshuffle kabinet bukan merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan Jokowi untuk mengisi kekosongan kursi dua menteri.
Arsul mennyerahkan keputusan tersebut sepenuhnya hak prerogatif yang dimiliki Presiden Jokowi.
"Meski presiden juya bisa hanya dengan menggantindua menteri ini dan tidak merubah posisi kabinet lainnya. Tentu siapapun termsuk kami di PPP tetap harus mensadari bahwa soal pilihan mana yamg diambil presiden maka itu merupakan hak prerogatif beliau sepenuhnya," kata Anggota Komisi III DPR RI itu.
Tanggapan Istana
Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan bahwa hak masyarakat untuk berspekulasi mengenai reshuffle Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Termasuk mengenai spekulasi bahwa reshuffle akan dilakukan dalam waktu dekat karena kursi Menteri Kelautan dan Perikanan definitif kosong pasca Edhy Prabowo diciduk KPK karena dugaan suap ekspor benih Lobster.
"Hak-nya masyarakat untuk berspekulasi," kata Moeldoko di Kantor Presiden Jakarta, Selasa, (1/12/2020).
Menurut Moeldoko, Presiden pada saatnya akan mengumumkan apakah penunjukan Menteri KKP yang baru nantinya sekaligus reshufle atau tidak.
"Tapi tunggu saatnya. Jawabannya tunggu saatnya," katanya.
Sebellumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan kemungkinan untuk merombak (reshuffle) kabinet tetap terbuka.
Hal itu disampaikan Jokowi dalam wawancara eksklusif Rosi di Kompas TV, Senin (16/11/2020).
Mulanya Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi menanyakan alasan Jokowi tak merombak kabinet meskipun merasa kesal, karena para menterinya dinilai tak bekerja optimal menangani pandemi Covid-19.
Jokowi menjawab performa para menterinya dalam melakukan kerja tim saat ini cukup bagus sehingga ia belum merasa perlu melakukan reshuffle di tahun pertama seperti di periode 2014-2019.
Rosi kemudian menanyakan apakah jawaban Jokowi itu menandakan tak akan ada reshuffle kabinet, Jokowi menjawab diplomatis.
"Ya bisa aja. Bisa aja minggu depan, bisa aja bulan depan, bisa aja tahun depan," tutur Jokowi lantas tertawa.
Kendati demikian, Jokowi menyatakan tak segan mengganti menterinya yang kinerjanya di bawah standar.
Ia pun tak ragu untuk menyampaikan hal tersebut kepada para ketua umum partai koalisi jika harus mengeluarkan kadernya dari kabinet.
"Saya kira kalau memang tidak baik akan saya bilang saya ganti. Saya biasa bicara seperti itu," tutur Jokowi.
Adapun isu reshuffle terlontar saat Jokowi meradang kepada para menteri jajarannya karena tak puas dengan kinerja mereka.
Kemarahan Presiden Jokowi diketahui melalui sebuah video yang diunggah akun YouTube Sekretariat Presiden pada Minggu (28/6/2020), 10 hari setelah rapat digelar.
Dalam video tersebut, Presiden Jokowi tampak menegur para pembantunya. Ia mengancam akan mengganti menteri yang kinerjanya selama masa pandemi ini buruk.
Presiden Jokowi menilai, para menterinya itu tidak memiliki sense of crisis di tengah situasi pandemi Covid-19.
"Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya," ucap Presiden Jokowi.
Kepuasan Publik di Bawah 50 Persen, Saatnya Jokowi Reshuffle Kabinet?
Satu tahun sudah usia pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sejak dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu.
Sejumlah catatan dan evaluasi pun telah disampaikan berbagai pihak. Mulai dari aktivis, akademisi, politisi hingga pejabat pemerintah.
Hasil survei Litbang Kompas yang dilansir, Selasa (20/102020) kemarin, menunjukkan sebesar 46,3 persen responden merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin selama satu tahun terakhir.
Isu reshuffle kembali berembus karena beberapa menteri pembantu presiden Jokowi dinilai tidak maksimal bekerja.
Isu perombakan kabinet sebelumnya juga pernah mengemuka saat kabinet pemerintahan Jokowi baru berjalan tiga bulan.
Namun saat itu, Jokowi tidak melakukan perombakan kabinet pemerintahannya. Kini setahun telah berlalu, apa presiden bakal mengocok ulang susunan kabinetnya?
Kemarin, Selasa (21/10/2020), Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti telah menyampaikan evaluasinya tehadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Aisah Putri Budiarti menyoroti buruknya koordinasi di tingkat menteri Kabinet Indonesia Maju dalam satu tahun ini.
Baca juga: Arief Poyuono: Tabokan Besar Bagi Prabowo Sebagai Bos Besarnya Edhy Prabowo
Aisah pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan evaluasi terhadap jajaran pembantunya di tingkat eksekutif.
"Kalau diperlukan reshuffle itu wajar dan sah-sah saja, justru perlu dilakukan jika tidak memiliki kapasitas yang memumpuni," papar Aisah dalam diskusi online, Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Aisah menjelaskan, evaluasi tersebut tidak hanya pada individu menterinya saja, tetapi perlu mengatasi persoalan sistem kabinetnya atau sistem kerjanya selama ini.
"Antara menteri satu dengan menteri lainnya suka tidak sama, misalnya saat dilarang pulang kampung. Ini problem koodinasi yang harus dipecahkan, agar empat tahun ke depan lebih efektif bekerja," papar Aisah.
Aisah juga melihat beberapa menteri tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi) secara maksimal dalam satu tahun ini.
"Setengah dari menteri juga tidak memiliki latar belakang dekat dengan birokrasi pemerintahan. Ini pastinya menyulitkan untuk bekerja," ucapnya.