Sisi Lain Metropolitan

Sering Makan Nasi dan Kecap Selama Pandemi, Wanita Paruh Baya di Tanjung Barat Dikirim Sembako Warga

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Forsiwa Tanjung Barat, Andri menyambangi kontrakan Fitriyani (56), atau sering dipanggil emak di kawasan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (15/6/2021).

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, JAGAKARSA - Warga Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan membantu Fitriyani (56), seorang janda sebatang kara yang mengalami kesulitan ekonomi selama pandemi Covid-19.

Dana bantuan dikumpulkan melalui program Sedekah Koin yang diusung Forum Silahturahmi Warga (Forsiwa) Tanjung Barat. 

Hasil pengumpulan koin itu dibelikan sembako kepada emak, panggilan Fitriyani.

Andri, Ketua Forsiwa, menceritakan awalnya ia sempat bertemu dengan emak sekitar satu tahun lalu.

Namun, semenjak ditinggal anak semata wayangnya dan memasuki masa pandemi, hidup emak kini jadi kian berat.

Emak harus mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.

Terkadang membantu menggosok pakaian tetangga dan memunguti sampah di jalan. 

Akan tetapi, penghasilannya sering tak cukup untuk membayar kontrakan. 

"Saya prihatin ibu ini berjuang sendiri. Makan juga enggak seadanya dengan nasi, garam dan kecap. Bahkan sayur asam dan ikan asin saja sudah mewah. Saya terketuk hati untuk membantunya," ujar Andri kepada TribunJakarta.com pada Senin (16/6/2021).

Baca juga: Cerita Warga Miskin di Tanjung Barat Bertahan Hidup Saat Pandemi: Cukup Makan Nasi dengan Kecap

Baca juga: Hidup di Jurang Kemiskinan, Ini Harapan Emak, Wanita Sebatang Kara Tinggal di Tanjung Barat

Andri juga sudah membantu emak untuk mendaftarkan ke Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sekitar seminggu yang lalu. 

Ia berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti dan membantu warganya yang kesusahan. 

Kisah emak, makan nasi dan kecap sehari-hari

Warga miskin ibu kota di Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ini hidup memprihatinkan.

Fitriyani (56), atau sering dipanggil emak, harus tertatih-tatih berjuang seorang diri untuk menyambung hidup di tengah Pandemi Covid-19. 

Baginya, makan dengan nasi dan kecap sudah cukup untuk bertahan hidup. 

Emak hidup sebatang kara di rumah kontrakannya yang sederhana. Di rumah petak itu, ia tidur beralaskan kasur lapuk. 

Di depan kasur terdapat televisi cembung kecil yang terkadang berubah hitam putih. Di bawah lantai, berserakan berbagai macam perabotan rumah dan pakaian.

Sebelum pandemi Covid-19, ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bantu-bantu jualan minuman di kampus.

Fitriyani, warga miskin ibu kota yang hidup serba terbatas di wilayah Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Dalam sehari, emak mendapatkan uang Rp 50 ribu.

Penghasilannya digunakan untuk membayar kontrakan setiap bulan.

Semenjak pandemi Covid-19, kampus tutup sehingga penghasilannya ikut-ikutan hilang. 

Emak kemudian mencari penghasilan lain. Terkadang, ia membantu menggosok pakaian tetangga. Namun, penghasilannya kerapkali tak cukup untuk membayar kontrakan. 

Belakangan, emak juga memunguti berbagai plastik dan kardus yang ditemuinya di jalan. Kemudian ia jual ke pemilik lapak dengan pendapatan yang tak seberapa.

Beruntung, emak memiliki pemilik kontrakan yang memahami kondisi hidupnya. Emak dibolehkan menyicil biaya kontrakan per bulan. Cicilannya pun jarang dilunasinya. 

Pemilik kontrakan juga sering memberikan lauk untuk makan emak.

Fitriyani, warga miskin ibu kota yang hidup serba terbatas di wilayah Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Kepada TribunJakarta.com, emak bercerita bahwa untuk makan sehari-hari saja berat. Apalagi hidup di tengah keadaaan darurat pandemi Covid-19. Emak sering bersantap hanya dengan nasi, dan kecap. Untuk menambah rasa, ia menaburinya dengan garam.

"Bukan berat lagi, ini benar-benar berat. Kalau untuk makan yang penting ada beras, garam dan kecap. Itu yang penting," ungkapnya kepada TribunJakarta.com pada Selasa (15/6/2021).

Bahkan, emak bercerita bersantap sayur asam dan ikan asin saja sudah makanan mewah baginya.

"Sayur asem dan ikan asin bukan mewah lagi buat saya. Seminggu sekali makan ini juga enggak," ujarnya dengan nada bergetar.

Terpuruk di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 benar-benar membuat hidup emak susah. Ia bercerita bahwa anak semata wayangnya, Muhammad Wahyudin (26) meninggalkannya tanpa kabar.

Sudah satu tahun lebih, Wahyu hilang tanpa memberikan kabar di mana ia berada.

Fitriyani, warga miskin ibu kota yang hidup serba terbatas di wilayah Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Sebelum hilang, Wahyu hanya bilang bahwa ia akan pergi ke rumah temannya. 

"Anak saya sudah lupa sama orangtuanya. Sudah 16 bulan enggak pulang. Bilangnya mau pergi ke rumah teman. Enggak pernah ngabarin saya," ujarnya seraya menangis.

Sedangkan suaminya meninggal saat Emak mengandung Wahyu di tahun 1995. Ketika melahirkan, cerita Emak, Wahyu sudah tak memiliki ayah.

Emak pun harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Ia mengaku mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi Covid-19.

Namun, bantuan itu kerap dijualnya untuk membayar kontrakan. 

Di tengah nasib malang yang menimpanya, emak tetap bersyukur masih bisa makan dengan seadanya.

"Dibilang susah, mungkin ada yang lebih susah lagi di bawah saya. Masih bersyukur masih bisa ketemu makan. Saya enggak lhiat yang ke atas tapi di bawah saya," pungkasnya.

Harapan Emak

Hidup Fitriyani (56) atau sering dipanggil emak berada dalam jurang kemiskinan. Untuk makan sehari-hari saja, ia kesulitan. 

Pekerjaan serabutan dipilihnya seperti memunguti sampah plastik dan membantu menggosok pakaian tetangga.

Warga Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ini sempat bercerita sekelumit kisah getirnya tinggal sebatang kara kepada TribunJakarta.com.

Suasana rumah kontrakan emak. (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Di akhir perbincangan, ia ingin bekerja dengan membuka usaha makanan ringan demi mencukupi hidupnya. Namun, emak terkendala oleh biaya.

Emak bisa dibilang pintar memasak. Ia sempat menjadi juri makanan dalam sebuah lomba masak. Terbukti dari sertifikat juri yang dipajang di dinding kontrakannya.

Istri dari Ketua RT di sana pun sempat memesan pastel dalam cukup banyak untuk acara tahlilan.

"Seandainya saya ada uang lebih atau ada yang memberikan pinjaman, saya mau usaha makanan ringan. Saya mau juga usaha pempek, enggak apa-apa harus dorong gerobak," ujarnya. (*)

Berita Terkini