TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Indonesia memiliki potensi Panas Bumi sekitar 24 GW. Dalam usaha memenuhi bauran Energi Baru Terbarukan, panas bumi menjadi salah satu sumber energi yang diandalkan.
Menurut Dirjen EBTKE melalui website resminya target yang ditetapkan untuk pemanfaatan panas bumi sebesar 7.241 MW, namun hingga saat ini hanya masih tercapai 2,13 GW.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam pengembangan panas bumi adalah polemik Tarik ulur harga jual listrik yang dihasilkan oleh pengembang panas bumi dengan PT. PLN.
Meskipun dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17/2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk PLTP oleh PLN telah diatur harga patokan tertinggi antara WKP, namun harga yang ditetapkan dinilai terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan pengembangan EBT lainnya.
Dalam Peraturan Menteri ESDM tersebut harga untuk saat ini pada WKP I adalah 13,8 sen Dollar dan 20,0 sen Dollar untuk WKP II serta 27,4 sen Dollar untuk WKP III.
Baca juga: Kampus UI Depok Serahkan Bus Listrik Dalam Rangka Mendukung KTT G20
Tujuan dari adanya kebijakan ini tidak lain adalah untuk memberikan kepastian kepada pihak pengembang atas harga jual-beli listrik panas bumi dan sekaligus memberi Batasan harga agar tidak memberatkan PLN.
Meskipun pemerintah telah berupaya memberikan harga patokan tertinggi, namun harus dimengerti bahwa pasar harga jual listrik untuk semua sumber energi merupakan pasar monopsoni.
Diutarakan Faris Pradana, seorang mahasiswa Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia, Dalam pasar monopsoni ini PT. PLN selaku pembeli tunggal pasti sedikit-banyak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga meskipun pemerintah telah menetapkan skema feed in tariff dan harga patokan tertinggi.
Sehingga bisa jadi harga yang telah ditetapkan dalam feed in tariff dan harga patokan tertinggi tidak disepakati oleh PLN, sementara pihak pengembang menginginkan harga yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut.
Sedangkan harga listrik dari energi panas bumi dinilai relatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sumber energi batubara.
Sebagai gambaran, harga listrik panas bumi dipatok antara 7 – 13 sen Dollar per kWh sedangkan harga listrik dari batubara dan EBT Surya berkisar 5 sen Dollar per kWh.
Dengan alasan ini pula, maka PLN sebagai monopsonis akan lebih memilih sumber energi lainnya dengan biaya yang lebih rendah.
Apalagi untuk saat ini melalui Undang-undang No. 21/2014 tentang Panas Bumi beserta turunannya belum mewajibkan PT. PLN untuk membeli listrik dari Panas Bumi.
Dengan kekuatan monopsonis mempengaruhi harga, maka harga yang dipatok oleh PT. PLN untuk listrik dari panas bumi akan rendah, dengan rendahnya harga, maka tidak banyak pihak pengembang yang mau berinvestasi pada panas bumi sehingga kuantitas listrik dari EBT panas bumi akan terus sedikit.
Baca juga: PLN UP3 Bekasi Klaim Berhasil Menurunkan Rata-rata Padam Per Pelanggan di 2022
Kebijakan Mendatang