"Saya secara pribadi dapat memahami dan menghormati kolega saya yang berjumlah 97 orang yang menandatangani Mosi Tidak Percaya," kata Sultan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, merinci keputusan mengenai Fadel Muhammad. Menurutnya, segala keputusan dan perbincangan telah terdokumentasikan dengan baik.
"Jika dikatakan akan diputuskan di BK, saya kira tidak ada kesepakatan itu. Silakan dibuka seluruh rekamannya. Tidak ada satu kalimat pun bahwa persoalan ini akan dibawa ke BK. Ada risalah dan rekamannya," tutur LaNyalla.
Keputusan LaNyalla mendapat dukungan dari mayoritas anggota. Bambang Santoso asal Bali misalnya. Ia menilai keputusan yang telah diambil dalam Sidang Paripurna tak bisa lagi diganggu gugat.
"Kalau mau mencabut tandatangan, silakan saja cabut. Tidak akan mengganggu keputusan yang telah diambil," tegas Bambang.
Ia justru menyayangkan sikap Nono dan Sultan yang seakan-akan memainkan aspirasi mayoritas anggota DPD RI. "Membuat keputusan lantas dicabut. Ini seperti main-main. Jangan main-main dengan Mosi Tidak Percaya dari anggota," tutur Bambang.
Hal senada diungkapkan oleh Alirmansori Senator asal Sumbar. Menurutnya, penarikan tandatangan di Surat Keputusan Paripurna tidak membatalkan apapun. Dan perlu diingat, lanjutnya, penandatanganan itu adalah kewajiban Pimpinan sebagai konsekwensi dari jabatan, bukan pilihan boleh menanda tangani atau tidak.
“Tidak menandatangani atau mencabut tanda tangan mengandung konsekwensi lain lagi,” tandas Alirman.
Nada keras disampaikan oleh Fachrul Razi, Senator asal Aceh. Ia meminta Nono dan Sultan mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPD RI.
"Ini mengecewakan tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi seluruh anggota. Sesuai Tatib Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 57, tugas pimpinan adalah Melaksanakan dan Memasyarakatkan Keputusan DPD. Ini malah mencabut tandatangan. Saya minta Pak Nono dan Pak Sultan mundur dari pimpinan karena tak bertanggungjawab terhadap keputusan yang sudah diambil," tegas Fachrul Razi.
Senator asal Papua Barat, Sanusi Rahaningmas menyayangkan hal ini terjadi. Menurutnya, pimpinan harus kolektif kolegial dalam mengambil keputusan. "Apa yang dilakukan saat Paripurna yang lalu itu sudah benar. Paripurna itu tidak pura-pura," tutur Sanusi.(*)