Profil Gembong Warsono, Sudah Jadi Teman Diskusi Petinggi PDI Meski Masih Jabat Pengurus Kecamatan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris DPD DKI Jakarta dan Anggota DPRD, Gembong Warsono

Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM - Jauh sebelum menjadi Sekretaris DPD DKI Jakarta dan Anggota DPRD, Gembong Warsono memulai karirnya di PDI Perjuangan dari level bawah, puluhan tahun silam.

Hampir tiap malam di era 90-an, dan wajibnya pada malam Rabu yang dalam istilah mereka sebut Rabuan, Gembong dan para kader PDI selalu berkumpul di kediaman Megawati Soekarnoputri di Kebagusan, Jakarta Selatan.

Terutama saat masa genting PDI menjelang perpecahan yang puncaknya pada insiden Kudatuli.

Karenanya, Gembong menyebut banyak kenangan yang dilewatinya, tak hanya dengan Megawati tetapi juga bersama Taufiq Kiemas.

Satu sikap yang diambilnya dari mendiang suami Megawati yakni beliau selalu menerima silang pendapat selagi itu rasional.

Baca juga: Loyalitas Gembong Warsono Teruji untuk PDI, Tak Gentar Meski Digeprak Pistol Ketua RW

Satu ketika ada hal tak terlupakan bagi Gembong.

Gembong yang saat itu baru menjabat Korcam atau Koordinator Kecamatan Kebayoran Lama di struktur kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kubu Megawati berani membentak Taufiq Kiemas.

"Pak, jelek-jelek begini Gembong korcam Kebayoran Lama. Kalau bukan saya yang enggak hargai diri saya sendiri, siapa yang hargai diri saya?," begitu kata Gembong saat berbincang dengan TribunJakarta.com di kantor DPD PDI Perjuangan, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (4/2/2023).

Taufiq Kiemas yang mendengar ucapan dari Gembong seketika diam sejenak.
Sejenak seperti orang hendak marah.

Tapi ternyata ucapan yang terlontar dari suami Megawati justru membuat suasana malam itu makin cair.

Gembong pun masih ingat betul apa yang terlontar dari Taufiq Kiemas kala itu.

"Almarhum diam dulu sebentar tapi beliau langsung bilang, 'Bener juga lo ya'," kata Gembong menceritakan masa lalunya.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPRD DKI Jakarta itu kemudian menceritakan apa yang jadi musabab hingga membuatnya berani berkata demikian ke Taufiq Kiemas.

"Saya kan korcam, saya ke Kebagusan bawa orang. Acaranya sudah selesai teman-teman pada angkatin kursi beres-beres, lah saya lagi serius ngobrol sama teman yang lain enggak tahu kalau ternyata udah pada beres-beres."

"Almarhum ngomel ke saya bilang temannya pada angkat kursi kamu enak-enak ngobrol," papar Gembong.

Gembong menyebut banyak kenangan yang dilewatinya bersama Taufiq Kiemas. Satu sikap yang diambilnya dari Taufiq Kiemas yakni beliau selalu menerima silang pendapat selagi itu rasional.

"Beliau itu asyiknya kalau dibantah dan bantahannya rasional dia suka," ujar Gembong.

Selain soal hobi berdebat, Gembong menyebut ada satu prinsip dari Taufiq Kiemas yang pantang untuk ditolak.

"Dia paling anti kalau ngasih ditolak. Kata beliau orang minta terus ga dikasih sakit hati, tapi lebih sakit hati kalau memberi tapi ga diterima," ujar Gembong.

Gembong mengatakan, di tiap Rabuan para kader dan simpatisan PDI yang datang ke kediaman Megawati selalu penuh.

Gembong yang berasal dari Jakarta selalu tak diperkenankan pulang duluan oleh Taufiq Kiemas.

"Itu bisa sampai jam 1 malam kita ngobrol di sana.

Lalau kita mau pulang ditahan mulu sama Pak TK (Taufiq Kiemas)," kata Gembong.

Namun bukan Gembong namanya jika tak punya jurus jitu 'menaklukan' Taufiq Kiemas.

Jika memang sudah kebelet ingin pulang, Gembong biasanya mengatakan demikian, "Bapak mah enak abis kita pulang langsung tidur, lah saya masih sejam lagi motoran," kata Gembong yang saat itu mengendarai vespa tahun 1976 tiap ke rumah Megawati.

Jadi Harapan Megawati

Selain menjadi teman diskusi Taufiq Kiemas, Gembong juga cukup dikenal oleh Megawati.

Bahkan Gembong adalah salah satu kader PDI Perjuangan yang sampai begitu diharapkan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri bisa menjadi anggota dewan.

Hal itu terjadi saat persiapan Pemilu 2009, dimana itu adalah kali ketiga Gembong bertarung sebagai caleg DPRD DKI Jakarta.

Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta, gembong Warsono danManajer TribunJakarta.com Yogi Gustaman. (Elga Hikari Putra/TribunJakarta.com)

"Sampai bu Mega bahasanya gini, dia bilang "Bong, saya juga mau lihat kamu pakai baju safari kayak orang-orang". Waktu itu Bu Mega panggil saya di Lenteng Agung, ada mas Pramono Anung juga selaku sekjen," ujar Gembong mengenang ucapan Megawati.

Oleh Megawati, Gembong pun ditawari kembali maju sebagai caleg DPRD DKI Jakarta. Kali ini dari dapil Jakarta Barat. Gembong ditempatkan di nomor urut 1.

Namun hal itu mendapat penolakan dari para kader PDI Perjuangan lantaran Gembong bukan berasal dari Jakarta Barat.

"Akhirnya saya dipanggil lagi oleh bu Mega. Ditanya kamu saya turun nomor mau ga? saya bilang Jakarta Bara itu tiga kursi sudah pasti bu.

Jadinya saya yang tadinya daftar sementara nomor 1, daftar tetap jadi nomor 3 karena kan calonnya itu selang-seling laki perempuan," papar Gembong.

Selamat dari Insiden Kudatuli

Berkarir di PDI, sudah banyak asam garam yang dilewati Gembong.

Satu di antaranya dalam insiden penyerangan yang dilakukan di kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996.

Saat insiden itu terjadi, Gembong baru saja tiba di rumahnya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono, (Elga Hikari Putra/TribunJakarta.com)

"Saya awalnya gak percaya, orang jam tiga dini hari saya baru pulang dari Diponegoro (kantor PDI)," kata Gembong.

Di tanggal 27 Juli 1996 dini hari, Gembong bersama para kader PDI Kebayoran Lama memang baru saja bergeser dari kantor PDI.

Baca juga: Jalan Terjal Gembong Warsono: Loyalis PDI Sejak SMA, Tak Menyerah Meski Hattrick Gagal Anggota DPRD

Adapun Gembong memutuskan pulang di dini hari itu karena ia sudah diperingati oleh tetangganya yang mobilnya ia pinjam membawa kader PDI.

"Saya kan malam itu ya pinjem mobil tetangga. Saya dari Kebagusan (rumah Megawati Soekarnoputri) dulu, terus anak-anak ngajak ke Diponegoro."

"Nah yang punya mobil udah bilang jangan pulang pagi karena mau dipakai makanya jam 3 saya pulang," ujar Gembong.

Siapa sangka langkah Gembong menuruti pesan tetangganya itu membuatnya selamat. Jika tidak mungkin jalan hidup Gembong akan berbeda cerita.

Sebab, beberapa jam kemudian kantor PDI langsung diserang dalam insiden yang dikenal sebagai Kudatuli atau kerusuhan 27 Juli tahun 1996.

"Tapi emang pas saya pulang suasana udah agak beda itu. Ada orang naik motor nguuuung di depan kantor," kata Gembong.

"Kalau seandainya saya gak pinjam mobil itu, saya pasti kena di situ," lanjut dia.

Insiden kudatuli seakan menjadi titik loyalitas Gembong terhadap PDI. Pasca insiden itu, Gembong mantap berada di kubu Megawati Soekarnoputri.

"Saat itu saya anak muda yang sesuai aturan. Bu Mega adalah ketua umum hasil kongres yang akhirnya jadi keputusan munas yang merupakan keputusan tertinggi dan bersama.

Tapi kok di tengah jalan mau dijegal sama teman-teman sendiri," tegas Gembong.

Selepas peristiwa Kudatuli, karir Gembong di PDI berjalan cukup moncer.

"1996 pecah partai PDI, saya ikut bu Mega. Setelahnya saya naik ke DPC Jakarta Selatan jadi wakil sekretaris

Saya rangkap jabatan di kecamatan di tingkat kota. Sedangkan jelang pemilu 1999, sekretaris DPC meninggal akhirnya saja jadi Plt sampai pemilu," papar Gembong. 

Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News

 

Berita Terkini