Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM - Pasangan capres cawapres saat ini gemar memilih gaya kampanye dengan model dialog dengan para pendukungnya.
Sebut saja cara capres nomor urut 1 Anies Baswedan yang kini masif menggelar Desak Anies maupun cawapresnya, Muhaimin Iskandar yang menggaungkan Slepet Imin.
Kemudian, ada pula cawapres nomor urut tiga, Mahfud MD yang menamakan acara Tabrak Prof untuk sesi dialognya dengan pendukung.
Lantas apakah cara semacam ini sejatinya efektif untuk meningkatkan elektabilitas dan menggaet pemilih di TPS nanti?
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan menilai bahwa cara kampanye dengan berdialog ini bisa menjadi kesempatan untuk publik melihat kemampuan intelektual dari sang calon.
"Karena cara ini tentu mensyaratkan Paslon punya kemampuan intelektual dan track record yang baik sehingga mampu menjelaskan secara gamblang dan masyarakat bisa menilainya secara bebas," kata Bakir saat memberikan tanggapannya, Kamis (1/2/2024).
Hanya saja, ujar dia, metode kampanye model ini juga memiliki sisi minus.
"Minusnya cara ini sejatinya mensyaratkan audiensnya juga punya kemampuan pemikiran dan daya tangkap yang luas, sehingga tidak terjadi distorsi dalam memahami penjelasan paslon," kata dia.
Namun, saat ditanyakan apakah gaya kampanye semacam itu berdampak besar bagi elektabilitas, Bakir menyebut dampaknya hanya sama seperti pelaksanaan debat kandidat.
"Hampir sama dengan debat, efek elektoralnya tidak terlalu signifikan karena masyarakat mayoritas belum masuk pada level tersebut," tuturnya.
Bakir menuturkan, serupa debat, sejatinya gaya kampanye macam itu hanya laku untuk masyarakat berpendidikan.
Sayangnya, dalam beberapa kasus mereka yang berpendidikan juga tidak terlalu rasional dalam mengalkulasi paslon untuk kemudian sampai pada kesimpulan menentukan pilihannya.
"Berpendidikan tapi pilihan politiknya lebih pada pertimbangan rasa, bukan logika dan rasionalitas.
Karena itu presiden kita tidak identik dengan kaum intelektual, beda dengan dulu awal kemerdekaan yang rata-rata elitenya adalah kaum cerdik cendekia," paparnya.
Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News