Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM - Di masa 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran sudah banyak suara agar dilakukan rombakan atau reshuffle kabinet.
Sebab, karena ada sederet kebijakan kontroversi yang terjadi di awal pemerintahan Prabowo-Gibran.
Diantaranya mulai dari kenaikan PPN 12 persen, keberadaan pagar laut hingga larangan pengecer menjual LPG 3 kilogram.
Presiden Prabowo Subianto juga seakan telah mengultimatum para menterinya akan adanya reshuffle.
Hal itu disampaikan Prabowo saat menghadiri Harlah ke-102 NU di Istora Senayan pada Rabu (5/1/2025).
Menurut Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, ada dua kriteria yang dijadikan dasar Prabowo untuk menindak kabinetnya, yaitu tidak setia dan kebijakannya tidak pro rakyat.
Soal tidak setia, kata dia, bisa jadi Prabowo sudah mengendus ada menterinya yang loyalitasnya ganda atau mendua.
"Menteri tersebut punya nahoda bukan hanya pada Prabowo, tapi ada sosok lain yang menjadi acuannya dalam bekerja dan mengambil kebijakan," kata Jamiluddin saat dihubungi, Jumat (7/2/2025).
Menurutnya, para menteri tersebut memang sudah seharusnya ditindak. Sebab, menteri tersebut berpeluang akan terus merongrong Prabowo melalui kebijakannya.
"Menteri tersebut seharusnya sudah diketahui Prabowo. Karena itu, Prabowo tampaknya sengaja memberi sinyal tegas agar menterinya hanya setia kepadanya dan negaranya," kata Jamiluddin.
Sedangkan dasar kedua bagi Prabowo yakni akan menindak menteri yang kebijakannya tidak pro rakyat. Menteri seperti ini tentu tidak sejalan dengan visi dan misi Prabowo.
Penegasan Prabowo itu bisa saja memberi sinyal kepada Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait kebijakannya gas LPG 3 kg.
"Kebijakan kontroversial ini dinilai sangat tidak berpihak kepada rakyat. Prabowo dengan pernyataannya itu bisa jadi sebagai teguran keras kepada Bahlil.
Pernyataan itu juga ditujukan kepada menteri lain agar tetap sejalan dengannya dalam membuat kebijakan yang pro rakyat," paparnya.