Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, PADEMANGAN - Di gang sempit permukiman Kampung Tongkol, Jalan Tongkol Dalam, RT 07 RW 01 Kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, kehidupan warga berjalan sederhana sekaligus penuh kepahitan.
Di rumah-rumah kontrakan kecil yang berdempetan, banyak keluarga harus bertahan dengan penghasilan pas-pasan.
Bagi mereka, setiap rupiah berarti perjuangan.
Namun di tengah kesulitan itu, kabar tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR yang tembus puluhan juta rupiah sebulan, justru menjadi kenyataan yang sulit mereka telan.
Sukatma (50) sudah 25 tahun tinggal di Kampung Tongkol.
Ia menempati sebuah kontrakan sempit bersama istri dan seorang anak.
Setiap bulan ia harus menyiapkan Rp 600 ribu untuk membayar sewa kamar.
Pekerjaannya serabutan: memperbaiki kipas angin, televisi, atau pekerjaan kecil lainnya.
Dari pekerjaan serabutannya itu, penghasilan sehari-hari Sukatma pun tidak menentu.
"Kadang sehari cuma dapat Rp30 ribu. Kalau nggak ada servis ya nggak dapat apa-apa. Untung ada istri yang jualan nasi uduk, walaupun sering nggak habis juga jualannya," tutur Sukatma, Jumat (22/8/2025).
Ia mengaku kerap harus mencari ke sana ke mari hanya untuk menutupi biaya kontrakan.
Karena itu, ia merasa getir mendengar kabar gaji anggota DPR yang begitu tinggi.
"Ya sangat tidak adil sih. Kita buat bayar kontrakan aja mesti nyari sana-sini, sementara mereka gajinya luar biasa. Katanya wakil rakyat, tapi kalau begini rasanya bukan mewakili rakyat kecil," ucapnya.
Tak jauh dari rumah Sukatma, tinggal pasutri Khalid (60) dan Imas (58), yang juga hidup di kontrakan sempit bersama dua anaknya yang masih bujang.
Tiga anaknya yang lain sudah berkeluarga, sesekali membantu kebutuhan orang tua mereka.
Sehari-hari Khalid bekerja sebagai buruh bangunan.
Namun, sudah beberapa bulan terakhir ia menganggur.
Hanya jika ada panggilan kerja serabutan, ia bisa membawa uang pulang.
Untuk kebutuhan sehari-hari, istrinya Imas mencoba berjualan nasi uduk.
Itu pun tak selalu laku.
"Sebulan Rp 800 ribu kontrakan satu kamar, isinya berempat. Kalau nggak ada uang, kadang dibantu anak-anak Rp 200 ribu, Rp 300 ribu. Kalau sekarang malah belum bisa bayar, masih ditoleransi pemilik kontrakan karena keluarga juga," kata Khalid.
Mendengar soal fasilitas anggota DPR yang serba ada, Khalid hanya bisa menghela napas.
"Kurang adil, karena orang di atas nggak melihat ke bawah. Mereka dijamin semua, kesehatan, keluarga. Sementara orang kecil kaya saya, untuk berobat aja walaupun ada BPJS tetap butuh ongkos. Listrik, air, semua mahal. Kita hidup serba pas-pasan," katanya.
Cerita serupa datang dari warga Kampung Tongkol lainnya, Anis Wiranti.
Ia tinggal bersama suaminya, Mudiono, dan dua anaknya yang masih kecil di kontrakan seharga Rp 1 juta per bulan.
Mudiono bekerja sebagai sopir boks kecil dengan penghasilan sekitar Rp 2,5 juta sebulan.
"Kalau dibilang cukup ya nggak cukup, dicukup-cukupin saja. Berat, tapi mau gimana lagi. Pernah coba jualan es teh, tapi sepi pembeli. Jadi ya balik lagi mengandalkan gaji suami," ujar Anis.
Ia mengatakan, yang paling ia pikirkan adalah biaya sekolah anak-anak.
Putrinya kini duduk di kelas lima SD, sementara si bungsu baru berusia enam tahun.
"Kalau lihat DPR dapat tunjangan besar, ya rasanya nggak adil. Yang kaya makin kaya, yang nggak punya makin nggak kelihatan. Harusnya mereka lihat lagi rakyat kecil, biar kami merasa diperhatikan," katanya getir.