Pedagang Tolak Pasal Larangan Menjual Rokok dalam Raperda KTR, Gelar Aksi di Gedung DPRD DKI
Pedagang gelar aksi unjuk rasa soal Raperda Kawasan Tanpa Rokok di depan Gedung DPRD DKI Jakarta pada Selasa, (7/10/2025).
Penulis: Yusuf Bachtiar | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Jhonny menegaskan, aspirasi para pedagang akan dipertimbangkan dalam tahap finalisasi pembahasan Raperda KTR.
“Kami pastikan suara pedagang kecil, UMKM, warung, dan lainnya akan dibahas. Kami mencari jalan tengah yang win-win solution,” kata Jhonny.
Ia menambahkan, Bapemperda berkomitmen menjunjung tinggi partisipasi publik yang inklusif, adil, dan berimbang.
“Kita pastikan proses penyusunan perda tidak berat sebelah dan tidak menyakiti pelaku ekonomi kerakyatan,” tutupnya.
Raperda Bisa Timbulkan Masalah Sosial
Gelombang penolakan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) disuarakan sejumlah pihak.
Diketahui, pansus Raperda KTR di DPRD DKI Jakarta telah melakukan finalisasi keseluruhan terhadap aturan tersebut.
Di mana dalam draft finalisasi itu tidak ada perubahan berarti terkait pasal-pasal yang dianggap kontroversial dan mendapat penolakan.
Di antaranya terkait perluasan kawasan tanpa rokok pada tempat hiburan seperti hotel, restoran, kafe, bar, live musik dan sejenisnya.
Menurut Ketua Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, sikap Pansus Raperda KTR yang tak mendengarkan aspirasi dari pelaku usaha, diproyeksikan akan menambah beban berat sektor jasa pariwisata.
Iwantono mengatakan, jika tidak ditanggulangi dengan baik, proyeksi PHRI, pendapatan daerah makin tergerus, target pajak juga sulit dicapai karena pendapatan hotel akan menurun.
“Kami melihat masukan dan aspirasi dari industri hiburan itu kurang didengarkan ya. Padahal dampak dari aturan ini cukup nyata, terutama bagi UMKM.
Langkah-langkah konsolidasi akan kami lakukan, dengan tetap membangun komunikasi yang baik, yang sehat antara pelaku usaha dengan pemerintah untuk mencarikan jalan keluar yang terbaik, win-win solution, supaya dampaknya tidak terlalu memberatkan,” terang Iwantono, Selasa (7/10/2025).
Diketahui pada 2025 ini industri perhotelan dan restoran di Tanah Air sudah terpukul, dengan 96,7 persen hotel melaporkan penurunan tingkat hunian.
Banyak usaha terpaksa mengurangi karyawan dan melakukan efisiensi. Padahal industri ini menyerap lebih dari 603.000 tenaga kerja dan menyumbang 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta.
Jika tidak dilakukan urun rembug antara pelaku usaha dan pemerintah, Iwantono mengkhawatirkan situasi ini akan menimbulkan masalah-masalah sosial baru.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.