Pengamat Ingatkan Gaya Kepemimpinan Komando Bisa Redupkan Kreativitas ASN DKI

Resistensi ASN DKI terhadap figur lulusan STPDN muncul karena perbedaan paradigma dan karakter kepemimpinan yang cukup tajam.

Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Wahyu Septiana
Istimewa
KREATIVITAS ASN - Ilustrasi ASN. Resistensi ASN DKI terhadap figur lulusan STPDN muncul karena perbedaan paradigma dan karakter kepemimpinan yang cukup tajam. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Direktur Jakarta Institute, Agung Nugroho menyoroti fenomena ketidaknyamanan sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) DKI Jakarta terhadap sosok pemimpin berlatar belakang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Menurutnya, hal itu bukan sekadar urusan asal kampus.

Namun, di baliknya, ada persoalan yang lebih dalam yakni mengenai benturan kultur birokrasi modern dan gaya kepemimpinan komando yang sulit menyatu dalam ritme kerja Jakarta.

Menurutnya, resistensi ASN DKI terhadap figur lulusan STPDN muncul karena perbedaan paradigma dan karakter kepemimpinan yang cukup tajam.

“ASN DKI sudah terbiasa dengan kerja kolaboratif, berbasis data, dan penuh dialog. Sedangkan lulusan STPDN dibentuk dalam sistem yang menekankan komando tunggal dan disiplin hierarkis. Dua dunia ini kerap berbenturan dalam praktik,” kata Agung dikutip, Rabu (8/10/2025).

Agung menyebut gaya kepemimpinan komando itu cocok di daerah dengan kultur sosial yang masih paternalistik,  di mana pemimpin dipandang sebagai figur pengarah tunggal. 

Namun di Jakarta, dengan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks dan ritme birokrasi yang cepat, gaya seperti itu justru bisa menciptakan jarak.

“Begitu model komando diterapkan di birokrasi perkotaan, banyak ASN merasa kehilangan ruang berekspresi. Mereka tidak menolak disiplin, tapi menolak jika kreatifitasnya dikebiri,” ujarnya.

Lebih jauh, Agung menautkan fenomena ini dengan situasi politik menjelang Pilgub DKI. 

Ia menilai, penempatan figur STPDN di jabatan strategis sering kali ditafsirkan sebagai sinyal politik dari pusat. 

“Di DKI, rotasi pejabat tak pernah murni administratif. ASN sudah sangat sensitif membaca arah politik kekuasaan,” ujarnya.

Menurut Agung, Jakarta selama ini menjadi laboratorium reformasi birokrasi nasional, antara lain terkait sistem transparan, berbasis teknologi, dan berada di bawah pengawasan publik yang ketat. 

Karena itu, muncul kekhawatiran bahwa gaya kepemimpinan berbasis loyalitas bisa membawa birokrasi DKI mundur ke era lama yang tertutup dan feodal.

“Jadi resistensi ini bukan soal benci pada STPDN, tapi soal menjaga agar birokrasi tetap modern, meritokrasi, dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek,” tegasnya.

Agung juga menilai, ASN di Jakarta memiliki identitas profesional yang kuat. 

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved