Sosok Prof Didik J Rachbini yang Disuruh Belajar Lagi oleh Purbaya, Penantang Jokowi di Pilkada DKI
Nama Profesor Didik J Rachbini mencuat setelah mengkritik kebijakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Ia pernah jadi lawan Jokowi di Pilkada DKI.
TRIBUNJAKARTA.COM - Nama Profesor Didik J Rachbini mencuat setelah mengkritik kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
Kritikan Prof Didik lalu dibalas kembali oleh Purbaya Yudhi Sadewa. Ia meminta Rektor Universitas Paramadina itu untuk belajar kembali.
Selain menjadi akademisi, Didik juga dikenal sebagai politis. Ia bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1999.
Ia lalu menjabat sebagai Anggota Majelis Pertimbangan Partai kemudian Ketua DPP PAN pada tahun 2005.
Pada Pemilu Legislatif 2004, Didik J Rachbini terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Baru dan Malang, Jawa Timur.
Profil Didik J Rachbini
Didik J Rachbini merupakan penantang Joko Widodo atau Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012.
Saat itu, Pilkada DKI Jakarta diikuti oleh enam pasangan cagub dan cawagub. Pesertanya yakni Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, Faisal Basri-Biem Benyamin, Alex Noerdin-Nono Sampono, Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Pilkada DKI itu dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok.
Didik J Rachbini kelahiran 2 September 1960.
Dikutip dari laman alumniipbpedia, Prof Dr. Didik J Rachbini adalah lulusan IPB University, Fakultas Pertanian bidang Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis angakatan 16.
Ia berhasil lulus dari IPB University dan pernah menjadi asisten dosen pada tahun 1982 hingga 1983.
Kemudian pada 1983 ia resmi menjadi dosen IPB University hingga tahun 1985.
Anak dari seorang guru pemilik tambak garam ini melanjutkan pendidikan S2-nya untuk meraih gelar M.Sc di Central Luzon State University Filipina dengan mengambil Program Studi Pembangunan.
Setelah mengambil studi S2, ia melanjutkan S3 di tempat yang sama untuk meraih gelar Phd dan lulus pada tahun 1991.
Pada tahun 1985, ia pernah aktif sebagai peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Di LP3ES ini ia tidak hanya pernah menjadi Kepala Program Penelitian, tetapi juga diberi tugas menjadi Wakil Direktur di tahun 1992-1994.
Saat bekerja di LP3ES, ia juga menjalani profesi sebagai dosen di Universitas Nasional dan di tahun 1993 ia juga menjadi dosen Pasca Sarjana Program Magister Manajemen Universitas Indonesia.
Setelah itu, di tahun 1995, pemilik nama kecil Ahmad Junaidi ini mendirikan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang merupakan lembaga riset independen dan otonom. Di sana ia menjabat sebagai direktur hingga tahun 2000.
Tidak hanya di dunia akademis, Prof. Didik juga aktif di beberapa organisasi. Diantaranya ia pernah menjadi aktivis HMI 1982 hingga 1983.
Ia juga pernah menjadi Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Nasional sejak 1998 hingga 2003.
Di tahun 1995, ia bergabung menjadi Anggota Majelis Pakar di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICIM). Sejak bergabung di sana, tahun 1998 ia dipercaya menjadi Anggota MPR Utusan Golongan.
Prof. Didik berperan sebagai pendiri dan juga dosen pengajar di Universitas Paramadina Mulya.
Prof. Didik dipercaya untuk mengemban amanah menjadi Rektor di Universitas Paramadina Mulya di tahun 2021 sebagai pengganiti Rektor sebelumnya almarhum Prof. Firmanzah.
Ia lalu kembali menjabar Rektor Universitas Paramadina periode 2025-2029.
Kritik Purbaya
Awalnya, Didik J Rachbini mengkritik kebijakan Menteri Keuangan Purbaya yang menempatkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke bank BUMN.
Ia menilai pengalihan uang pemerintah ke perbankan untuk menggerakkan sektor riil melali penyaluran kredit merupakan kebijakan yang melanggar prosedur.
Menurut Didik, prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 23, UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN, harus dijalankan sebab anggaran negara masuk ke ranah publik, bukan anggaran privat atau perusahaan.
"Pengalihan Rp 200 triliun ke perbankan melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-undang APBN yang didasarkan pada Undang-undang dasar," ujar Didik dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025), dikutip dari Tribunnews.
Didik menyatakan, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. Sebab jika tidak di masa mendatang akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya.
"Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah presiden sekalipun," ujar Didik.
"Pejabat-pejabat negara tersebut harus taat aturan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP) yang datang dari kementerian lembaga dan pemerintah daerah," sambungnya.
Menurut Didik, pengeluaran dana Rp 200 triliun juga berpotensi melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, pasal 22 ayat 4, 8 dan 9.
Pasal 22 Ayat 4 menyebut bahwa untuk kepentingan nasional penerimaan negara dan APBN, bendahara umum negara dapat membuka rekening penerimaan pajak dan PNBP dan rekening pengeluaran operasional APBN di bank umum.
Ayat 8 menyebut, rekening pengeluaran diisi dana dari RKUN atau rekening umum kas negara di bank sentral. Sementara Ayat 9 berbunyi, jumlah dana yang disediakan di rekening umum kas nagara pengeluarannya disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah yang sudah ditetapkan APBN.
"Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN. Bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan," ujarnya.
Balasan Purbaya
Menkeu Purbaya pun membalas kritik yang disampaikan Didik.
Ia mengaku sudah menelepon ahli hukum untuk menguji kritik DIdik.
"Pak Didik salah undang-undangnya. Saya tadi ditelepon Pak Lambok, ahli undang-undang kan. Dia bilang sama saya, Pak Didik salah," ujar Purbaya di Istana Negara, dikutip Rabu (17/9/2025).
Purbaya bilang, penempatan dana Rp 200 triliun ini bukan perubahan anggaran. Hanya memindahkan dana pemerintah yang ada di bank sentral yakni Bank Indonesia (BI). Menurut Purbaya, tindakan pengalihan dana itu adalah benar.
"Dan hal ini pernah dilakukan sebelumnya. Ini bukan perubahan anggaran, ini hanya uang kita dipindahkan saja. Enggak ada yang salah," ujar Purbaya.
Purbaya, dengan gaya koboinya pun meminta Didik untuk kembali belajar.
"Dulu pernah dijalankan, tahun 2008, bulan September. 2021, bulan Mei, nggak ada masalah setiap hukum. Jadi Pak Didik harus belajar lagi kelihatannya," jelasnya. (TribunJakarta.com/Tribunnews.com)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.