Sederet Kejanggalan Proyek Jalan Nangka: Disuruh Ukur Sendiri Hingga Nur Mahmudi Hilang Ingatan
Sederet kejanggalan di proyek pelebaran Jalan Nangka, Tapos, yang menyeret mantan wali kota Depok Nur Mahmudi Ismail dan mantan Sekdanya.
Penulis: Yogi Gustaman | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM, DEPOK - Polisi menetapkan mantan Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail, sebagai tersangka proyek pelebaran Jalan Nangka di Kelurahan Sukamaju Baru, Tapos, Depok.
Turut tersangka bersamanya adalah mantan Sekda Depok, Harry Prihanto.
Penyidik Polresta Depok menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 20 Agustus 2018.
Proyek pelebaran Jalan Nangka yang menyeret Nur Mahmudi Ismail dan Harry Prihanto belakangan mengungkap sederet keganjilan, bukan saja oleh penyidik Polresta Depok yang menangani kasus ini.
Warga RT 03/01 di sekitar lokasi juga mendapatkan sederet keganjilan di proyek ini seperti yang TribunJakarta.com himpun dari sejumlah saksi dan petugas kepolisian.

Disuruh ukur sendiri
Proyok pelebaran Jalan Nangka berjalan tak lama setelah pembangunan apartemen Green Lake View dan Waterpark dimulai pada 2015.
Warga sejak awal sudah merasa janggal karena mereka yang terdampak diminta mengira-ngira bagian depan rumahnya seluas enam meter untuk proyek pelebaran jalan.
"Kami dikasih waktu bongkar bangunan sendiri, tapi enggak dikasih tahu enam meter itu sampai mananya," cerita Amsari warga Jalan Nangka kepada TribunJakarta.com, Jumat (31/8/2018).
"Kata orang PU (Dinas PUPR) kami disuruh kira-kira sendiri bidang tanah yang kena pelebaran. Nah kami bingung, masa kami yang harus mengukur," Amsari menambahkan.
Menurut dia, seharusnya Pemerintah Kota Depok memasang patok di tanah warga yang digunakan untuk pelebaran Jalan Nangka.
Akibat tak ada batas jelas bidang tanah untuk pelebaran jalan, sejumlah warga merasa khawatir membongkar rumah dan kiosnya yang belakangan hanya menguntungkan Pemkot Depok saja.
"Kalau cuma kira-kira enam meter memang gampang. Tapi masa iya masalah tanah disuruh kira-kira. Kan sudah pasti ada yang aneh dari proyek pelebaran Jalan Nangka ini," gerutu Amsari.
Sofiyah (63) warga lainnya, sempat mempertanyakan alasan Dinas PUPR Kota Depok enggan memastikan bidang tanah yang dikorbankan warga terdampak pelebaran Jalan Nangka.
Padahal pihak PUPR Kota Depok telah menerjunkan tim untuk mengukur dan menilai bangunan rumah warga.
"Masa warga disuruh kira-kira enam meter yang kena gusur itu semana. Terus waktu rumah warga diukur sama orang PU itu untuk apa," tutur Sofiyah.
Pemukiman warga terdampak pelebaran Jalan Nangka terbagi dalam Kelurahan Sukamaju Baru di sisi kanan, sementara Kelurahan Curug di sisi kiri jalan.

Warga Kelurahan Sukamaju Baru diminta memundurkan bangunan rumahnya hingga enam meter.
Sementara warga Kelurahan Curug diminta memundurkan bangunan rumahnya hingga empat meter.
Warga bilang uang pengganti dari Pemkot Depok
Warga yang tanah atau bangunannya terdampak pelebaran Jalan Nangka sempat menanyakan asal uang ganti rugi yang diberikan kepada mereka dalam bentuk tabungan di Bank Jawa Barat (BJB).
"Warga memang sempat curiga kalau uang ganti rugi itu dari pihak apartemen. Sudah ditanya ke petugas PU (Dinas PUPR) pas pertemuan di kelurahan. Tapi kata orang PU dananya dari Pemkot dan enggak ada hubungannya sama pihak apartemen," beber Amsari.
Kecurigaan warga berawal karena pelebaran jalan hanya dilakukan hingga depan Jalan Rajabarana, Kelurahan Curug, tempat apartemen berdiri.
Terlebih pihak Dinas PUPR Kota Depok tidak merinci alasan pelebaran Jalan Nangka yang hanya merupakan jalan lingkungan.
"Waktu dikasih tahu ada pelebaran jalan, Pemkot Depok enggak kasih tahu alasannya. Pokoknya cuman dibilang mau dilebarkan. Tapi memang dibilang mau dilebarkan sampai Jalan Bakti Abri, tapi pelebarannya bertahap," dia menambahkan.
Perihal uang ganti rugi, Amsari menyebut besaran uang tergantung pada penilaian tim Dinas PUPR terhadap bangunan terdampak pelebaran jalan.
Menurut dia besaran uang ganti rugi yang diterima warga di angka ratusan juta rupiah.
Pernyataan Amsari dibenarkan Ketua RT 03/RW 01 Asmayadi.

Menurut dia saat pembangunan dimulai, seluruh kendaraan berat pembangunan apartemen melintasi Jalan Nangka sekira enam meter.
"Memang enggak dibilang untuk apa. Pokoknya cuma dibilang mau dilebarkan, dananya dari Pemkot. Itu saja yang saya tahu," ujarnya.
Meski tak mengetahui secara pasti, Sofiyah (63) mendengar kabar pelebaran dilakukan untuk mengurangi kemacetan.
Ia menilai alasan mengurangi kemacetan itu tak berdasar pada kondisi lalu lintas Jalan Nangka.
"Katanya sih buat ngurangin macet, tapi enggak tahu juga. Kalau dibilang macet enggaklah. Orang macetnya cuma pagi sama sore doang, itu juga enggak parah. Enggak sampai diam lima menit macetnya," kata Sofiyah.
Dana pengganti dari pengembang apartemen
Kapolresta Depok Kombes Didik Sugiarto mengatakan uang ganti rugi tanah warga terdampak pelebaran Jalan Nangka sepenuhnya dibebankan kepada pengembang apartemen Green Lake View.
"Fakta penyidikan yang kita temukan bahwa ada anggaran dari APBD yang keluar untuk pengadaan lahan itu pada tahun 2015. Seusai dengan izin yang dibebankan kepada pengembang," kata Didik kepada wartawan pada Rabu (29/8/2018).
Dari total Rp 17 miliar APBD Kota Depok yang digunakan, total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 10,7 miliar.
Hingga kini, Didik masih belum mau membeberkan peran kedua tersangka dan alasan penyidik belum juga menahan mereka.
Menurut Didik, mulanya Nur Mahmudi membuat surat yang membebankan pengembang untuk melakukan pelebaran Jalan Raya Bogor dan Jalan Nangka.
Pada kenyataannya ditemukan adanya dana dari APBD yang ke luar untuk pelebaran jalan tersebut pada 2015.
Mengenai kemungkinan adanya keterlibatan pihak DPRD dalam kasus ini, Didik menyampaikan bahwa sejauh ini DPRD telah sesuai prosedur.
"Dari DPRD sudah melakukan proses-proses sesuai prosedur. Bahwa pengadaan tanah itu, sesuai dengan surat izin yang diberikan kepada sodara NMI, itu dibebankan kepada pihak pengembang. Fakta penyidikan yang kita temukan ada anggaran dari APBD," kata dia.
Jalan tak kunjung dilebarkan
Warga Jalan Nangka sejak jauh hari sudah mempertanyakan realisasi rencana pelebaran jalan tersebut.
Warga, Nursinta (38), mengatakan hingga Rabu (29/8/2018), belum terlihat pengerjaan proyek pelebaran jalan tersebut. Menurut dia, rencana pelebaran Jalan Nangka sudah disosialisasikan kepada warga sejak 2015.
“Sudah dari tiga tahun lalu kalau rencanannya mah, kan awalnya ada diskusi dulu antara warga, pejabat setempat, dan dinas PUPR,” ucap Nursinta ditemui Kompas.com di Jalan Nangka, Tapos, Rabu.
“Banyak yang tanya warga-warga kok sampai sekarang belum ada kegiatan pelebaran jalan sampai saat,” kata Nursinta.
Padahal, kata dia, warga sudah mendapatkan uang pengganti lahan yang terkena proyek dan sebagian besar dari mereka sudah menggunakan uang tersebut.
“Uang pergantian dari pemerintah saat itu pun sudah dipakai warga. Ada yang buat beli rumah lagi, naik haji, dan renovasi,” ucap Nursinta.
Ada 17 rumah warga yang saat itu terkena proyek jalan ini. Selain itu, ada 5 rumah warga yang belum dibongkar karena uang pengganti yang ditawarkan dianggap tidak sesuai dengan harga bangunan mereka.
Ketua Ketua RT 03/01 Asmayadi mengatakan satu rumah di Jalan Nangka dihargai dengan harga yang bervariasi, tergantung dengan kondisi rumah warga tersebut.
“Saya waktu itu dapat Rp 10 juta karena rumah saya disuruh mundur. Tanah rumah saya panjangnya 107 meter terpotong 46 meter. Jadi tinggal 61 meter sisanya,” ucap Asmayadi.
Jalan Nangka merupakan jalan alternatif yang ramai dilewati warga setiap harinya. Jalan ini sebagai penghubung Jalan Raya Bogor dan Jalan Bakti Abri. Jalan itu kerap macet, terutama saat jam sibuk.
“Jalan Nangka 24 jam aktivitas selalu bergulir dan cenderung macet total tiap harinya apalagi kalau jam sibuk," kata Asmayadi. "Soalnya di sini banyak pabrik-pabrik, apartemen juga ada, banyak agen juga. Jadi mobil bak, kendaraan lainnya banyak lewat di sini,” ucap dia.
Panggil lebih 80 saksi
Penyidik Polresta Depok sebenarnya telah menyelidiki kasus dugaan korupsi pelebaran Jalan Nangka sejak November 2017.
Lebih dari 80 saksi diperiksa untuk membuktikan keterlibatan Nur Mahmudi Ismail dan mantan Sekda Kota Depok.
Perihal sejauh mana proses penyidikan, Didik mengatakan jajarannya memeriksa sejak tahap penganggaran hingga pengadaan tanah.
"Ini mulai proses penyidikan dari mulai proses penganggaran, sampai pelaksanaan, pengadaan tanah," ujarnya.
Menurut dia pengadaan dugaan korupsi lahan di Jalan Nangka berawal karena penyidik menemukan pengadaan lahan sudah dibebankan kepada pengembang.
Pada praktiknya, pengadaan lahan justru menggunakan APBD Kota Depok tahun 2015 saat Wali Kota Depok Idris Abdul Somad masih menjabat sebagai Wakil Wali Kota.
"Fakta penyidikan yang kita temukan bahwa ada anggaran dari APBD yang keluar untuk pengadaan lahan itu, tahun 2015. Seusai dengan izin yang dibebankan kepada pengembang," tuturnya.
Sejumlah warga di sekitar Jalan Nangka yang TribunJakarta mintai keterangan termasuk dari 80 saksi lebih yang diperiksa penyidik.
Tunggu barang bukti
Penyidik akan memanggil mantan Nur Mahmudi Ismail dan Harry Prihanto untuk diperiksa sebagai tersangka pada waktunya nanti.
"Alasannya saat ini penyidik masih mencukupi data yang memperkuat pembuktian dua tersangka pengadaan tanah Jalan Nangka ini,” ucap Didik di Polresta Depok, Rabu (28/8/2018).
Pemanggilan terhadap Nur Mahmudi dan Harry pasti akan dilakukan sesuai dengan prosedur penyidikan.
"Saat ini tim menumpulkan alat bukti untuk memperkuat pembuktian, nanti pada saatnya, kami akan melakukan pemanggilan pada saudara NMI dan HP untuk dilakukan pemeriksaan," ujar Didik lagi.
Hilang ingatan
Di tengah pemberitaan sebagai tersangka, Nur Mahmudi Ismail dikabarkan hilang ingatan karena terjatuh ketika ikut lomba voli 17 Agustus lalu.
Tafi mengatakan mantan bosnya yang kelahiran Kediri itu terluka di kepala belakangnya sehingga harus dirawat.
"Pada saat lomba 17-an Agustus, tanggal 18-nya lomba voli main di sini. (Nur Mahmudi) jatuh pas kepala belakangnya," kata Tafi di pos rumah Nur Mahmudi Ismail di kompleks Tugu Asri, Jalan RTM, Tugu, Cimanggis, Depok, Rabu (29/8/2018).
Politikus PKS itu sempat dilarikan ke Rumah Sakit Hermina, Depok, dan dirawat selama sepekan.
Cedera tersebut menyebabkan Nur Mahmudi hilang ingatan.
"Tapi sudah mulai ada perbaikan. Intinya masih masa penyembuhanlah," terang Tafi.
Tafi terakhir kali bertemu mantan Menteri Kehutanan era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur itu pada Jumat (24/8/2018).
Sopir pribadi Nur Mahmudi Ismail, Rosikin, membenarkan bosnya masih harus beristirahat karena kondisinya belum pulih.
"Bapak memang sempat dirawat satu minggu di Rumah Sakit Hermina. Sekarang masih belum ditemui karena masih beristirahat," ujar Rosikin.
Penyidik menetapkan Nur Mahmudi Ismail sebagai tersangka setelah menerima hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Jakarta.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono sebelumnya menyebut kerugian yang dialami negara dalam kasus ini mencapai Rp 10,7 miliar.
Fahri Hamzah kritik PKS
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengaku prihatin rekan separtainya Nur Mahmudi Ismail ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penggunaan APBD Tahun 2015 terkait proyek pelebaran Jalan Nangka di Tapos.
"Saya prihatin sebagai sahabat ya. Saya ketemu dia setelah pensiun juga melihat hidupnya enggak banyak yang berubah sebetulnya, tetap sederhana," kata Fahri di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Fahri lebih menyayangkan sikap PKS tak memberikan bantuan hukum kepada Nur Mahmudi Ismail.
"Saya menyayangkan karena DPP PKS enggak ada pembelaan sama sekali. Padahal kita harus menunjukkan bahwa Nur Mahmudi enggak salah, harus dibela. Cara membelanya memberikan bantuan hukum, memberikan advokasi," kata Fahri yang sudah dipecat dari PKS.
Fahri mencatat sepanjang kepemimpinan Sohibul Iman, sudah enam sampai tujuh orang tokoh senior PKS tersangkut kasus hukum dan tidak pernah mendapatkan pembelaan dari partai.
Ia pun sangat menyesalkan hal tersebut.
"Bukan apa-apa, untuk menunjukkan saja bahwa kader-kader partai ini baik-baik, sehingga mereka harus dibela," imbuh dia.
Begini tanggapan PKS
Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid enggan berkomentar soal Nur Mahmudi Ismail yang menjadi tersangka. Ia mengaku tak mau mencampuri wilayah hukum.
"Itu urusan hukum ya. Biar hukum yang ngomong, biar hukum yang bicara," kata Hidayat di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Saat ditanya apakah PKS akan memberikan bantuan hukum kepada Nur Mahmudi, Hidayat belum mengetahuinya.
Ia menyarankan hal itu ditanyakan ke DPP PKS.
Nur Mahmudi Ismail pernah menjabat Presiden Partai Keadilan, cikal bakal PKS. (TribunJakarta.com/Kompas.com)