Cerita Siti Badriyah Surat Suara Jadi Tempat Curhat PRT: Gaji Tak Dibayar dan Tidak Bisa Pulang
Siti Badriyah mengungkapkan pengalamannya terkait surat suara jadi tempat curhat PRT ketika bekerja sebagai pemantau pemilu di luar negeri.
TRIBUNJAKARTA.COM - Sambil tersenyum, pemantau pemilu di luar negeri dari Migrant Care, Siti Badriyah menceritakan pengalaman menariknya saat Pemilu Presiden 2009 dan 2014 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Bukan mendapati surat suara yang dicoblos, Siti malah pernah menemukan surat suara yang berisi curahan hati alias curhat permasalahan dari sejumlah pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia yang bekerja di sana pada Pilpres 2014 lalu.
Hal itu diceritakannya saat hadir sebagai narasumber di diskusi media bertema "Menjaga Suara Buruh Migran Indonesia pada PEMILU 2019" di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Jakarta, Minggu (7/10).
"Bahkan surat suara yang bisa dikirim ke kedutaan malah ditulis masalahnya dia. Bukan dicontreng atau dicoblos. Tapi, di surat suara Saya ditulis pengaduan dia, 'Gajinya nggak dibayar bayar, saya mau pulang nggak bisa'. Itu banyak sekali. Itu pengalaman saya ketika menjadi pemantau di Malaysia," kata Siti sambil tersenyum.
Sebagai pemantau pemilu, biasanya Siti akan bekerja selama 10 hari sampai dua minggu di negara yang telah ditentukan.
Namun, sebelum berangkat ke luar negeri, Siti juga bertugas untuk melakukan pemantauan data dari tingkat Daftar Pemilih Sementara (DPS) sampai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di luar negeri.
Siti baru akan bertugas melakukan pemantauan proses pemilihan, akses pemilih, surat suara, dan penghitungan suara di luar negeri, pada saat hari-H pemilihan.
Dan setelahnya, dia akan membuat laporan hasil pemantauan dan menyerahkannya kepada Bawaslu.
Sebelum menjadi pemantau pemilu, Siti mengaku sudah bekerja di Malaysia selama setahun setengah dan di Brunei Darussalam selama 10 bulan.
Baru pada Agustus 2004, dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Dari pengalaamannya, ada beberapa kendala yang membuat banyak PRT di sana yang tidak bisa menyalurkan suaranya.
Dia mengatakan, para PRT sangat bergantung kepada izin dari majikannya agar dapat mengikuti pemilu khusus di Malaysia.
Kendala tersebut antara lain majikan para majikan tidak tahu bahwa surat yang dikirim ke alamatnya lewat pos adalah surat suara karena informasi yang tertera di amplopnya ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak diterjemahkan.
Kedua, para majikan baru memberikan surat suara kepada PRT setelah proses rekapitulasi suara selesai.
Dan Ketiga, para PRT tidak mendapat izin untuk keluar dan menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sudah ditetapkan.
"Untuk teman teman yang bekerja di rumah tangga itu banyak yang mengalami kesulitan. Karena mereka bekerja di rumah tangga, kalau keluar harus seijin majikan. Maka kalau majikan nggak mengijinkan, itu dia nggak bisa menyalurkan hak pilihnya," kata Siti.
Selain itu, lanjut Siti, belum ada sosialisasi secara langsung atau door to door dari pemerintah Indonesia, khususnya Kedutaan Besar atau Kantor Perwakilan tentang pemilu di Indonesia ke para majikan PRT asal Indonesia di Malaysia.
• Eskavator Digunakan untuk Cari Korban, 5 Ribu Orang Diduga Ditelan Lumpur Pasca Gempa di Palu
• Setahun Pimpin Jakarta, Anies Baswedan Akui Masih Banyak PR