Pembebasan Lahan DDT Kian Rumit, Warga Lapor Polisi Terkait Dugaan Pemalsuan Dokumen
M Mahrus Ali mengatakan, pihaknya bersama warga terdampak proyek DDT membuat laporan pada Sabtu, (6/7/2019) di Mapolres Metro Bekasi Kota
Penulis: Yusuf Bachtiar | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Yusuf Bachtiar
TRIBUNJAKARTA.COM, BEKASI SELATAN - Pembebasan lahan di sekitar Stasiun Kranji untuk proyek pembangunan lintasan dwi ganda atau double double track (DDT) Manggarai - Cikarang kian rumit usai warga melaporkan ke pihak kepolisian terkait dugaan pemalusan dokumen.
Kuasa hukum warga, M Mahrus Ali mengatakan, pihaknya bersama warga terdampak proyek DDT membuat laporan pada Sabtu, (6/7/2019) di Mapolres Metro Bekasi Kota dengan dugaan pemalsuan dokumen penilaian aset atau apriasial oleh oknum petugas Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta dan Banten.
"Kami kemarin sudah berkordinasi dengan pihak kepolisian, masih ada dokumen yang harus dilengkapi untuk proses laporan ini," kata Mahrus saat dikonfimasi, Senin (8/7/2019).
Pembebasan lahan DDT warga sekitar Stasiun Kranji, RT02, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medan Satria ini sejatinya masih dalam tahap persidangan perdata di Pengadilan Negeri Kelas 1A Bekasi.
"Persidangan perdata masih berlanjut menyusul warga memilih jalur hukum ketika pembebasan lahan ini telah dikonsinyasi (dititipkan ganti rugi lahan ke pengadilan untuk diserahkan ke warga)," ungkap Mahrus.
• Atasi Pengangguran, Sudin Nakertrans Jakarta Selatan Gelar Pelatihan Kewirausahaan
• Satpol PP Kesulitan Tertibkan Imigran Pencari Suaka di Kebon Sirih
Sebanyak 27 warga dengan 29 bidang lahan yang tetap berjuang meminta keadilan ganti rugi yang setimpal. Mereka beranggapan, nilai ganti rugi yang diberikan Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta dan Banten tidak sesuai.
Indikasi adanya dugaan pemalsuan dokumen terjadi ketika dalam proses persidangan, terdapat perbedaan dokumen antara Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta dan Banten dengan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) FAST.
"Ada indikasi hasil penilaian yang menjadi dasar musyawarah ganti rugi kepada pemilih tanah dipalsukan," ujar dia.
Dugaan itu diperkuat seperti misalnya perbedaan luas tanah dan jumlah ganti rugi yang tertera. Mahrus mencontohkan, warga pemilik tanah bernama Hendra Hadi Saputra mendapatkan nilai ganti rugi Rp 175.890.000, diketahui sebenarnya harus mendapatkan ganti rugi Rp 312.339.000.
"Terdapat perbedaan luas tanah dalam dua dokumen tersebut, sehingga mempengaruhi nilai ganti rugi warga," paparnya.