Di Negara Asalnya Tidak Ada Salju, tapi Atlet Ini Ikut Olimpiade Musim Dingin

Di negara asalnya tidak ada salju, namun atlet ini justru menekuni olahraga musim dingin

Penulis: Deodatus Suksmo Pradipto | Editor: Deodatus Suksmo Pradipto
ESPN
Akwasi Frimpong 

"Saya tahu sepak bola sangat populer di Ghana, namun tidak semua orang bisa menjadi seorang Abedi Pele atau Tony Yeboah, jadi penting bagi masyarakat memiliki banyak pilihan dan saya harap kisah saya bisa menyebarkan hal tersebut di tanah air," ujar Frimpong kepada ESPN.

Perjuangan Frimpong untuk menekuni olahraga musim dingin bukan hal yang mudah. Dia harus melakukan banyak pengorbanan untuk meningkatkan kemampuannya di cabang olahraga yang baru dia tekuni tersebut.

"Saya meninggalkan istri saya dan bayi saya yang masih berusia delapan bulan Ashanti di rumah karena pergi selama beberapa bulan untuk berlatih dan mengikuti turnamen di seluruh dunia," tutur Frimpong.

Akwasi Frimpong
Akwasi Frimpong (ESPN)

Frimpong telah mendapatkan dukungan dari Komite Olimpiade Ghana dan Cocoa From Ghana atas partisipasi di Olimpiade PyeongChang. Namun demikian, tantangan Frimpong belum berakhir. Meski dia termasuk sering diliput oleh media, olahraga musim dingin jarang mendapatkan perhatian di Ghana.

"Target saya adalah mendapatkan dukungan dari otoritas-otoritas olahraga Ghana untuk mendukung pembangunan olahraga musim dingin di Ghana dan menyiapkan atlet untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing pada 2022," kata Frimpong.

Pria yang besar di Belanda itu mengaku juga keluar banyak uang untuk mendukung perkembangan bobsleigh dan skeleton di Ghana. Setiap tiga bulan Frimpong merogoh sakunya sendiri untuk membiayai klinik-klinik bobsleigh dan skeleton di negara asalnya.

"Dewan anggota Federasi Bobsleigh & Skeleton-Ghana kami membangun sejumlah klinik di daerah timur, barat, dan Ashanti. Banyak talenta di Ghana dan kami harus memaksimalkan itu di olahraga musim dingin," ujar Frimpong.

Akwasi Frimpong menghabiskan delapan tahun pertama dalam hidupnya di Kumasi, Ghana. Dia tinggal di sebuah rumah berkamar satu. Minka, neneknya, membesarkan Frimpong bersama sembilan cucu lain. Mereka semua tidur di lantai dan neneknya kesulitan memberi makan Frimpong dan saudara-saudaranya.

Ketika usianya delapan tahun, Frimpong menyusul Esther Amoako, ibunya, ke Belanda. Amoako adalah seorang penyanyi gospel di Belanda. Waktu itu Frimpong tidak berstatus imigran legal, namun keluarganya bekerja agar Frimpong bisa mendapatkan izin tinggal di Belanda.

Proses itu memakan waktu 13 tahun. Frimpong akhirnya mendapatkan izin tinggal pada 2007 dan mendapatkan kewarganegaraan Belanda pada 2008.

Johan Cruyff
Johan Cruyff (VI Images)

Status ilegal membuat Akwasi Frimpong sulit mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan di sekolah menengah. Satu-satunya sekolah yang bisa memberikan kesempatan itu adalah Johan Cruyff College. Itu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada para atlet untuk menyeimbangkan olahraga dengan pendidikan formal.

Di sekolah itu pula Frimpong menjalin hubungan yang baik dengan Johan Cruyff, seorang legenda persepakbolaan Belanda dan dunia. Persahabatan mereka bertahan hingga Cruyff meninggal dunia pada 2016 akibat kanker paru-paru.

"Waktu saya kembali ke Ghana dan bilang kepada mereka saya ingin mewakili mereka di Olimpiade Musim Dingin mereka melihat ke arah saya seolah saya gila, namun tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan mereka," tutur Frimpong seperti dikutip dari Mirror.

Akwasi Frimpong memberikan contoh pada Lizzy Yarnold, atlet skeleton asal Inggris. Yarnold sukses meraih medali emas pada Olimpiade Musim Dingin Sochi pada 2014 meski di negaranya tidak ada lintasan es.

"Ini bukan dari mana asalmu, tapi soal seberapa keras usaha Anda untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan," kata Frimpong yang terjun ke olahraga atletik sejak berusia 15 tahun.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved