Unik, Jenazah Jro Mangku Rumpeg yang Meninggal di Usia 120 Tahun Diarak Bak Orang Kesurupan
Waktu menunjukan pukul 14.00 Wita, dan krama banjar mulai berjejeran disepanjang jalan raya Desa Tojan.
TRIBUNJAKARTA.COM, SEMARAPURA - Proses pengabenan almarhum Jro Mangku Rumpeg (120 tahun) dipenuhi sukacita dan rasa kebersamaan.
Pemandangan itu terlihat saat jenazah tokoh masyarakat yang disegani di Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, tersebut menjalani proses pengabenan.
Jenazah Jro Mangku Rumpeg diarak dengan penuh sukacita dan rasa kebersamaan.
Baca: Wakapolri Bakal Ganti Kepala Polisi yang Tak Serius Tangani Miras Oplosan
Seperti apa?
Panas masih terasa menyengat di Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, Klungkung, Bali, Kamis (12/4/2018).
Waktu menunjukan pukul 14.00 Wita, dan krama banjar mulai berjejeran disepanjang jalan raya Desa Tojan.
Bade setinggi sekitat 10 meter sudah berdiri kokoh di tengah jalan raya.
Jalan raya di Desa Tojan, tepatnya di Banjar Jelantik Kuribatu sore itu memang sengaja ditutup dan arus lalu lintas harus dialihkan karena acara pengabenan Jro Mangku Rumpeg.
Almarhum Jro Mangku Rumpeg merupakan seorang tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Ia meninggal dunia di usia senjanya karena sakit, Senin (9/4/2018) lalu.
Baca: Artis Riza Shahab dan 5 Rekannya Ditangkap Saat Konsumsi Narkoba
Semasa hidupnya, ia merupakan seorang pemangku pemucuk kawitan Pura Pande Kuribatu dan pernah menjadi Kelihan Dalem selama 20 tahun.
Sebagai salah satu tokoh yang dihormati, pengabenan dari almarhum Jro Mangku Rumpeg pun dilaksanakan dengan tradisi ngarap watangan.
Tradisi ini sudah berlangsung turun menurun di Banjar Jelantik Kuribatu.
"Ngarap watangan atau istilahnya mengarak jenazah sudah menjadi tradisi di Banjar Jelantik Kuribatu. Jika biasanya layon anyar (jenazah baru) akan diaben, biasanya didahului dengan tradisi ngarap watangan ini," ujar Kelihan Banjar Adat Jelantik Kuribatu, I Nyoman Mujana, Kamis (12/4/2018).
Seperti pengabenan atau pemakaman di Bali pada umumnya, tradisi ini diawali dengan pembersihan jenazah (mabersih), lalu mayat dibungkus dengan kain kasa dan diikat dengan lante (serupa rantai yang terbuat dari bambu).
Ikatan lante ini pun dilakukan dua kali.
Ikatan pertama jumlahnya 47 dan yang kedua 53.
Ini bertujuan agar jenazah tetap terlindungi saat diarak ratusan warga.
Setelah itu, barulah jenazah naik tumpang salu dengan diupacarai oleh Ida Pedanda.
"Jadi jenazah akan diarak warga ketika akan naik ke bade. Nanti ratusan warga, khususnya pemuda bak orang kesurupan mengarak jenazah itu di jalan raya. Jenazah diarak sampai krama puas," jelasnya.
Baca: Rem Blong, Bus Pariwisata Seret Motor dan Tabrak Mobil di Garuda Wisnu Kencana
Hari mulai beranjak sore, dan jarum jam menunjukkan pukul 16.30 Wita.
Ratusan krama yang didominasi oleh pemuda tampak mulai berkumpul di depan rumah duka.
Mereka mengenakan pakaian dan kain kamben serba hitam.
Kepala mereka pun diikat dengan menggunakan kain kasa berwarna putih.
Mereka merupakan krama banjar yang sudah siap untuk mengarak jenazah Jro Mangku Rumpeg
Alunan tabuh baleganjur pun mulai terdengar, diikuti sorak sorai krama Banjar Jelantik Kuribatu.
Berlahan pihak keluarga menggotong jenazah keluar dari rumah duka, menuju bade/wadah.
Baru selangkah keluar dari rumah, jenazah sudah dismbut oleh ratusan warga.
Seperti orang yang kesurupan, krama banjar Jelantik Kuribatu yang didominasi pemuda langsung menyambut jenazah dengan suka cita.
Mereka berusaha menarik, mendorong, hingga menggelantungi jenazah.
Bahkan, ada yang berusaha menggigit jenazah yang sudah terlindung dengan lante bambu.
Sementara, pihak keluarga berusaha tetap mempertahankan agar jenazah tidak sampai jatuh saat diarak oleh ratusan warga.
"Krama (warga) yang ikut ngarap itu, seperti kesurupan. Mereka setengah sadar. Setahu saya dari dulu, dalam pelaksanaan ngarap watangan ini, belum ada yang jenazahnya sampai jatuh. Meskipun diarak seperti itu," jelas Nyoman Mujana.
Tradisi ngarap watangan ini berlangsung selama berjam-jam.
Jenazah diarak oleh warga mulai dari di depan rumah duka yang tepat disamping jalan raya Tojan, hingga ke selatan dan ke utara.
Sebelum akhirnya warga sudah kelelahan, dan jenazah dinaikkan ke bade/wadah untuk melanjutkan ritual pengabenan seperti pada umumnya.
"Setelah diarak, jenazah dinaikkan ke bade dan dilaksanakan proses pengabenan seperti pada umumnya, hingga abu jenazah dilarung ke pantai Jumpai," ungkapnya.
Menurut Mujana, tradisi ngarap watangan ini memiliki makna kebersamaan dan sebagai wujud penghormatan terhadap mendiang Jro Mangku Rumpeg.
Semasa hidupnya, di mata masyarakat Jro Mangku Rumpeg dikenal sebagai sosok yang jujur dan bersahaja. (TRIBUN BALI/Eka Mita Suputra)