Rumah Pijat Tunanetra di Siola Diresmikan Risma, Nur Cholifah Bukan Main Senangnya
Nur Cholifah (26) tak berhenti tersenyum saat namanya dipanggil untuk naik ke atas panggung peresmian rumah pijat tunanetra.
Laporan Wartawan Surya, Pipit Maulidiya
TRIBUNJAKARTA.COM, SURABAYA - Nur Cholifah (26) tak berhenti tersenyum saat namanya dipanggil untuk naik ke atas panggung peresmian rumah pijat tunanetra di lantai 1 Gedung Siola, Surabaya, Kamis (26/4/2018).
Dia mewakili praktisi pijat tunanetra untuk mendapatkan sertifikat secara simbolis, tanda ia telah mengikuti pelatihan praktisi pijat dari Dinas Kesehatan dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Surabaya.
Nur Cholifah menerima secara langsung sertifikat dari Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, usai peresmian Rumah Panti Pijat Tunanetra tersebut.
Perempuan kelahiran Surabaya ini mengaku sangat senang, karena Pemerintah Kota perhatian dengan teman-teman disabilitas, khususnya di Surabaya.
Dengan menyediakan wadah rumah pijat tunanetra di Siola, Nur dan praktisi pijat tunanetra lainnya pun mendapatkan tempat baru mencari nafkah.
"Kami teman-teman tunanetra terus berjuang supaya tetap bisa mandiri. Saya misalnya sejak kelas 6 SD sudah ikut kursus pijat sampai SMP. Lalu SMA jadi praktisi pijat sampai sekarang, tak lain supaya bisa mandiri," kata Nur menceritakan perjalanan hidupnya sebagai praktisi pijat, Kamis (26/4/2018) usai peresmian.
Hadirnya rumah panti pijat di Gedung Siola lanjut Nur membuka asa bagi teman-teman tunanetra, untuk terus memiliki ladang mencari nafkah.
"Alhamdulillah, kami merasa diperhatikan Pemerintah Kota Surabaya. Ini bukan pertama kali Ibu Risma menyediakan tempat bagi kami, sebelumnya sudah ada di Juanda, di hotel, di Taman Bungkul juga ada, sekarang di Siola," katanya dengan raut wajah penuh senyum.
Nur menceritakan tarif pihat tunanetra tidak jauh berbeda dengan praktisi pijat pada umumnya. Biasanya tarif pijat setengah jam Rp 50 ribu, namun Nur mengaku tidak pernah pasang tarif.
"Kalau saya pribadi enggak pernah pasang tarif, tapi orang biasa kasih Rp 100 ribu paling banyak Rp 200 ribu," tambahnya.
Namun, menjadi praktisi pijat tunanetra tidak selalu berjalan mulus, Nur mengaku sering terkena tipu.
"Ya tidak banyak, tapi ada saja orang yang usil. Bilangnya Rp 50 ribu ternyata uangnya cuma Rp 10 ribu atau Rp 20 ribu. Tahunya ya setelah tanya orang sekitar, beberapa dari kami (praktisi pijat tuna netra) kan ada yang benar-benar tidak bisa membedakan uang," akunya.
Nur kembali mengucapkan terima kasih atas perhatian pemerintah kota Surabaya, karena telah memberikan kepercayaan kepada kawan disabilitas sama seperti memberikan kepercayaan kepada orang awas.
"Semoga kami selalu mendapatkan perhatian seperti sekarang ini," harapnya.