Kakaknya Dituding Komunis, Soesilo Toer: Pramoedya Ananta Toer Islam Tulen
Jurusan yang ditekuni Soes di fakultas politik dan ekonomi di Rusia disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara.
TRIBUNJAKARTA.COM, BLORA - Kakak beradik Toer harus merasakan dinginnya jeruji besi bertahun-tahun karena dituding antek komunis.
Hal itu terkait nama Pramoedya Ananta Toer.
Untuk kasus adik Pram, Soesilo Toer, dua alasan sekaligus.
Baca: Menhub Imbau Petugas Pasukan Masa Angkutan Lebaran 2018 Waspada Potensi Teror
Jurusan yang ditekuni Soes di fakultas politik dan ekonomi di Rusia disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara.
Selain itu, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.
Sebelumnya, karya-karya Pramoedya merupakan tamparan bagi Belanda.
Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda.
Karena dinilai membangkang Belanda, Pramoedya sudah lebih dulu ditangkap.
Baca: Jokowi Sempat Usulkan Universitas Islam Internasional Indonesia Dibangun di Luar Pulau Jawa
Sementara itu, pada masa Orde Baru, sentilan-sentilan Pramoedya dalam tulisannya dianggap condong berpihak kepada PKI.
Banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu.
Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes ketika berbincang di rumahnya di Blora, Jawa Tengah.
Padahal, lanjut Soes, dia dan Pram bukanlah komunis, apalagi ateis.
Baginya, persoalan keyakinan itu tergantung penafsiran orang.
"Agama adalah hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Sifatnya intim. Pram itu Islam tulen. Aku juga Islam," ungkapnya.
Menunggu janji

Soes yang pulang ke Blora memutuskan untuk tinggal di rumah warisan orangtuanya dan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual.
Meski demikian, jiwa perjuangan melalui buku dan tulisan milik Toer bersaudara tak lekang begitu saja.
Pada hari sang kakak meninggal dunia, 30 April 2006, dia memutuskan untuk mendirikan perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa atau Pataba di rumah yang beralamat di Jalan Sumbawa 40, Jetis, tersebut.
Di ruangan seluas 5x4 meter di dalam rumah, terdapat sekitar 5.000 buku.
Selain buku-buku hasil karya dan koleksi pribadi Pram, perpustakaan ini juga menyimpan buku-buku lain, antara lain buku sastra, keagamaan, dan sosial politik.
Perpustakaan pribadi ini kerap dikunjungi oleh pencinta sastra Indonesia dan dunia.
Sebagian besar dari mereka adalah pengagum Pramoedya.
Soes mengatakan, pemerintah setempat sempat menjanjikan perbaikan rumah dan perpustakaan.
"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Namun demikian, Soes tak ingin terlalu berharap.
Dia tetap berupaya menghidupi perawatan rumahnya dengan hasil keringatnya sendiri menjadi pemulung.
Dia biasanya bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora.
Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah.
Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina.
Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
Menurut Soes, Pram yang sangat menyayangi keluarganya memang sempat berkeinginan memperbaiki rumah keluarganya di Blora dan mempercantik pusara orangtuanya.
"Sayang keinginan itu tidak kesampaian karena perbedaan pendapat di keluarga. Pram mudah marah," pungkas Soes. (Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Soesilo Toer Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Cinta Tanah Air dan Islam Tulen (3)",