Cerita Atang Pengayuh Odong-Odong di Tambora, Masih Diminati Hingga Sering Diutangi Orangtua  

"Disini kan anak-anaknya belum pada main smartphone. Jadinya masih pada demen naik Odong-odong begini," katanya.

Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/ELGA HIKARI PUTRA
Atang (43), tukang odong-odong yang masih bertahan di kawasan Kali Anyar, Tambora, Jakarta Barat, Senin (1/10/2018). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, TAMBORA - Atang (43) terlihat terus mengayuh pedal atas Odong-odongnya di pertigaan Jalan Kali Anyar, Tambora, Jakarta Barat.

Pedal itu berfungsi untuk menggerakkan Odong-odongnya ketika ada anak-anak yang menaiki.

Sudah dua tahun ini, pria asal Banjar, Jawa Barat itu melakoni pekerjaannya sebagai tukang Odong-odong yang menggunakan sepeda.

Sebelumnya, ia adalah sopir mobil odong-odong ‎yang kerap berkeliling menjelajahi jalanan ibukota.

Namun karena keberadaan mobil odong-odong dilarang melintas di jalan raya ditambah dirinya sudah berulang kali ditilang, ia pun berpindah jenis odong-odong menjadi yang hanya menggunakan sepeda.

"Saya dulunya tiga tahun bawa mobil odong-odong, kalau itu kan muter-muternya sampai ke Kota Tua atau Monas," kata Atang ditemui TribunJakarta.com, Senin (1/10/2018).

"Tapi kan sekarang mobil odong-odong dilarang enggak boleh lewat jalan raya, makanya saya pindah ke odong-odong. Abisnya capek kena tilang mulu," sambungnya.

Bila saat membawa mobil odong-odong ia harus menyetor Rp 100 perhari ke pemiliknya, kini odong-odong yang ia bawa adalah miliknya sendiri.

"Kalau ini saya beli bekas Rp 3 juta. Barunya mah ini sekitar Rp 5 jutaan," kata Atang.

Setiap harinya, Atang keluar dari rumahnya di kawasan Angke, Tambora, Jakarta Barat mulai Pukul 08.00 WIB dan berkeliling ke perkampungan-perkampungan yang ada di wilayah Tambora.

Menjadi tukang Odong-odong di pemukiman padat penduduk di Jakarta, disebut Atang masih cukup menghasilkan.

Belum banyaknya anak-anak yang memiliki ponsel cerdas menjadi salah satu faktor yang membuatnya masih memiliki pendapatan diatas Rp 100 ribu per harinya.

"Disini kan anak-anaknya belum pada main smartphone. Jadinya masih pada demen naik Odong-odong begini. Kalau di komplek elit mah enggak ada yang mau naik beginian," kata Atang.

Sekali naik, anak-anak cukup membayar Rp 2 ribu. Untuk durasi waktunya, mengikuti empat lagu anak-anak yang diputar di Odong-odong tersebut.

Mes‎ki hanya Rp 2 ribu, bukan berarti tak banyak orangtua yang berutang kepadanya.

Hal itu karena mayoritas warga di tempatnya berkeliling memang hidup pas-pasan.

Namun lantaran Atang tak tega bila anak-anak tersebut menangis bila tak diizinkan menaiki odong-odong, bapak tiga anak ini pun tetap memperbolehkan anak tersebut naik di odong-odongnya.

Ponsel Terus Berdering, Cerita Sutopo Kasih Informasi Bencana Meski Lawan Kanker Paru Stadium 4B

Menakar Peluang Keponakan Prabowo Jadi Wakil Gubernur DKI dan Prosedur Pembahasan di DPRD DKI

"Yang ngutang mah banyak kadang sampai Rp 70 ribu sebulan tuh, ada sampai orangtuanya ngumpet kalau ketemu saya. Tapi saya kan emang suka sama anak kecil dan enggak tega ya daripada anaknya nangis makanya saya suruh naik aja kalau misalkan lagi ada barengan," ujarnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved