Pemilu 2019
Soal Tim Hukum, Wiranto Tegaskan Bukan Diktator, Kivlan Zen: Apa Boleh Memantau Ucapan Seseorang?
Dengan keberadaan tim hukum Wiranto, pemerintah dapat mengkaji berbagai aksi yang meresahkan setelah pemilu 2019.
Penulis: Mohamad Afkar Sarvika | Editor: Kurniawati Hasjanah
TRIBUNJAKARTA.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopulhukam), Wiranto baru-baru ini membentuk Tim Asistensi Hukum.
Wiranto membentuk tim hukum ini bukan tanpa sebab.
Dengan keberadaan tim hukum Wiranto, pemerintah dapat mengkaji berbagai aksi yang meresahkan setelah pemilu 2019.
Tim hukum Wiranto ini akan memberikan masukan dan menilai ucapan serta aksi-aksi yang meresahkan pasca pemilu.
Bila suatu perbuatan masuk kategori pidana, maka akan diteruskan ke kepolisian yang selanjutnya dilakukan penindakan.
"Tentu dengan masukan ini kita sangat senang, artinya pemangku kepentingan di bidang hukum mendukung sepenuhnya langkah tegas pemerintah. Dan kita tidak surut lagi. Kita sudah buktikan siapapun yang nyata-nyata melanggar hukum akan kita tindak tegas dengan cara-cara hukum," kata Wiranto seperti dilansir dari Kompas.com, Jumat (10/5/2019).
Wiranto mengatakan, pihak kepolisian memang bisa langsung menindak apabila ada seseorang atau suatu kelompok yang terindikasi melakukan aksi melanggar hukum.
Namun, keberadaan Tim Asistensi Hukum Polhukam ini justru menunjukkan bahwa polisi tak berbuat semena-mena, melainkan berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tim hukum.
"Sehingga kepolisian itu mempunyai back up kajian hukum dari masyarakat sendiri. Jadi kepolisian itu mendapatkan suatu referensi, masukan, back up, agar yang dilakukan itu betul-betul merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan atas dasar hukum," kata dia.
• Bentrok di Wonogiri: Dipicu Provokasi Lewat Medsos Hingga Kasat Reskrim Belum Siuman Usai Dikeroyok
• Tips Memasak Daging Kambing Agar Terasa Empuk, Begini Caranya
"Jadi jangan ada tuduhan Wiranto kembali ke orba, Pak Jokowi diktator, enggak ada. Justru kehadiran ahli hukum ini membantu kami menjamin kami, bahwa kami bukan diktator. Kami hanya menegakkan hukum yang sudah kita sepakati bersama," tambahnya.
Di sisi lain, wiranto tak menampik bahwa ada tokoh yang menyampaikan suatu hal yang bisa saja menganggu kondusifitas.
Misalnya saja tokoh yang menyinggung soal people power.

Pernyataan people power itu, kata Wiranto, disampaikan tokoh tertentu sebelum digelarnya pemungutan suara pemilu 2019.
"Ada tokoh yang kemudian menyampaikan sebelum Pemilu ini bahwa nanti kalau ada kecurangan tidak perlu lapor kepada MK, tapi kita lakukan saja people power," katanya seperti dilansir TribunJakarta dari tayangan program Apa Kabar Indonesia tvOne..
Kemudian, lanjutnya, ada pula seruan untuk berkumpul membuat gerakan untuk mendiskualifikasi pascapemilu.
"Ada lagi tokoh yang mengatakan ayo kita belum merdeka, kita harus merdeka kita kumpul-kumpul kita akan gerakan untuk mendiskualifikasi," ucapnya.
"Itu kan yang ucapan saya kira perlu dikaji secara hukum, ini masuk ranah yang bagaimana," sambungnya.
• Maling Kotak Amal di Masjid Al Ikhlas Sawangan Depok Berhasil Diamankan Petugas
• Mudik Lebaran, Rincian Biaya Pengeluaran Tol dari Jakarta ke Solo Hingga Sistem One Way di Tol Japek
Wiranto pun menegaskan bahwa jangan menganggap bahwa pemerintah hanya tajam ke pihak opisisi.
Dijelaskan Wiranto bahwa pemerintah tidak mengenal opisisi.
"Jangan menjustifikasi bahwa yang kita dengarkan, kita sisir, kita analisis ucapan-ucapan tokoh opisis bukan, kita tak mengenal opisisi," jelasnya.
"Yang kita akan sisir kita dengarkan kita analisis semua tokoh siapapun dari manapun, bahkan tidak usah tokoh, masyarakat pun kalau bicaranya sudah kita anggap menabrak hukum masa ga dihukum sebagai sanksi," tambahnya.

Menurutnya, hal itu dilakukan guna menjaga keamanan dan kebersamaan di negeri ini.
"Negeri ini kan yang memang negeri hukum, semua berdasarkan hukum, kalau kemudian kebebasan dibiarkan sebebas-bebasnya bagaimana wajah negeri ini. Ini agar negera tetap aman damai dan tetap satu kebersamaan," tandasnya.
Sementara itu Mantan Kepala Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen angkat suara terkait hal itu.
Kivlan Zen nampak tak sependaoat dengan apa yang disampaikan Wiranto.
"Ini kita mau tanya kepada Wiranto kepda pejabat khususnya kepada pihak yang berwnang, 'apakah dibolehkan mencatat dan memantau pikiran, ucapan dan tindakan seseorang?' menurut undang-undang melanggar pasal 28 E tentang Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup hak untuk berbicara," katanya seperti dilansir TribunJakarta dari tayangan program Apa Kabar Indonesia tvOne.
"Kalau dipantau kemudian dibawa ke ranah hukum itu adalah negara-negara diktator proletar," tambahnya.
• Sylviana Murni Ungkap Kerinduan Saat Bulan Ramadan
• Real Count Jumat Siang Jokowi-Maruf Unggul 14.411.685 Suara dari Prabowo-Sandi
Sementara itu diwartakan Kompas.com sebelumnya, Tim asistensi hukum yang dibentuk Wiranto sudah mulai efektif bekerja.
Pada Kamis (9/5/2019) kemarin, Wiranto memimpin rapat yang dihadiri oleh para pakar dalam tim tersebut.
Agenda rapat tersebut untuk membahas koordinasi pelaksanaan tugas Tim Asistensi Polhukam dengan lembaga lain.
Turut hadir dalam rapat itu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Wakil Kepala Polri Komjen Ari Dono, serta Kepala Bareskrim Idham Aziz.
"Sudah dibahas semuanya tadi oleh pakar hukum yang kita kumpulkan untuk membantu menelaah menilai melakukan evaluasi apakah aksi yang meresahkan masyarakat itu masuk kategori yang mana, pasalnya berapa, mau diapakan," kata Wiranto kepada wartawan usai rapat.
Wiranto mengatakan, Tim Asistensi Hukum Polhukam saat ini terdiri dari 22 pakar. Jumlah itu terdiri dari pakar, staf Polhukam hingga anggota Polri.
Namun, tak menutup kemungkinan jumlah pakar dalam tim itu akan bertambah lagi.
Berikut daftar anggota Tim Asistensi Hukum Polhukam berdasarkan data yang diberikan oleh staf Wiranto:
1. Prof. Muladi, Praktisi Hukum
2. Prof. Romli Atmasasmita, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Hukum dan Perundang-undangan
3. Prof. Muhammad Mahfud MD, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
4. Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana
5. Prof. I Gede Panca Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
6. Prof. Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Universitas Borobudur dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur
7. Prof. Dr. Ade Saptomo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
8. Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Ahli Ilmu Negara UI dan UPH
9. Prof. Dr. Farida Patittinggi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
10. Dr. Harsanto Nursadi, Ahli Administrasi Negara/ Hukum Tata Negara
11. Dr. Teuku Saiful Bahri, Lektor Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
12. Dr. Teguh Samudera, Praktisi Hukum 13. Dr. Dhoni Martim, Praktisi/Akademisi
14. Kepala Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM
15. Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam
16. Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kemenko Polhukam
17. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri
18. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo
19. Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI
20. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri
21. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri
22. Indra Fahrizal, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Ekonomi dan Moneter
23. Asistensi Deputi Koordinasi Penegakan Hukum Kemenko Polhukam
24. Adi Warman, Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam
Simak videonya menit ke 16.00:
(TribunJakarta.com/Kompas.com)