Aksi 22 Mei
Jadi Target Yunarto Wijaya Maafkan Terduga Pembunuhnya: Saya Tak Ada Dendam
Polisi menyebut Yunarto Wijaya menjadi target eksekusi para tersangka kepemilikan senjata api yang menyeret Kivlan Zen.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Polisi menyebut Yunarto Wijaya menjadi target eksekusi para tersangka kepemilikan senjata api yang menyeret Kivlan Zen.
Yunarto Wijaya adalah Direktur Eksekutif Charta Politika, petinggi lembaga survei yang menjadi target eksekutor suruhan Kivlan Zen.
Dia satu-satunya bukan tokoh pejabat negara yang diincar eksekutor pimpinan Helmi Kurniawan atau akrab disapa Iwan dan tiga anak buahnya seperti Tajudin, Irfansyah dan Azwarmi.
Meski menjadi target pembunuhan, Yunarto Wijaya mengaku sudah memaafkan orang yang berniat untuk membunuhnya.
"Saya pribadi dan keluarga sudah memaafkan dan tak memiliki dendam apapun baik kepada perencana maupun eksekutor," kata Yunarto dilansir Kompas.com dalam artikel yang tayang pada Rabu (12/6/2019): Yunarto Wijaya Maafkan Kivlan Zen yang Diduga Berniat Membunuhnya.
Yunarto mengatakan, menjadi target pembunuhan justru membuat ia belajar kembali tentang kasih.
Memaafkan orang yang memusuhinya justru membuat ia merasa lebih bisa mensyukuri dan menikmati kehidupan.
Yunarto pun mengucapkan terima kasih dan apresiasi sebesar-besarnya terhadap langkah-langkah pengamanan yang dilakukan Polri dan TNI yang berhasil membuat situasi menjadi kondusif.
Ia mengajak semua pihak mempercayakan proses hukum yang berjalan tanpa diiringi oleh tekanan dan ujaran kebencian dari pihak manapun.
"Kejadian ini harus dilihat bukan dalam konteks keselamatan orang-orang yang ditarget. Tapi bagaimana demokrasi kita yang telah tercemar. Tercemar ujaran kebencian yang tidak bisa 'membunuh' perbedaan. Tercemar dengan aneka rupa kebohongan yang anti terhadap keberagaman," kata dia.
Yunarto menambahkan, permainan politik identitas dalam perhelatan demokrasi harus diakui sering terjadi berbagai negara, meski bukan sesuatu yang diharapkan.
Tetapi, ketika dilumuri dengan berbagai ujaran kebencian dan hoaks, hasil akhirnya adalah terkoyaknya modal sosial sebagai bangsa.
"Ini bukan sekadar untuk disesali, tapi seyogianya menjadi pembelajaran bersama agar tak lagi terulang di waktu-waktu yang akan datang."
"Jangan lelah untuk terus mencintai Indonesia. Memperkuat persatuan dan merawat kebinekaan dalam satu tarikan nafas sebagai manusia Indonesia," kata dia.
Politikus tersangka baru
Tersangka baru terkait kepemilikan senjata api ilegal untuk aksi 22 Mei dan eksekusi empat tokoh nasional dan satu pimpinan lembaga survei bertambah.
Empat tokoh nasional target pembunuhan, yaitu Menko Polhukam Wiranto, Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen Gories Mere, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Menko Kematiriman Luhut Binsar Panjaitan.
Sementara satu pemimpin lembaga survei yang juga menjadi target. Dialah Yunarto Wijaya, Direktur Esekutif Charta Politika.
Tersangka baru yang diungkap polisi adalah HM atau Habil Marati, politikus Partai Persatuan Pembangunan, yang diduga sebagai donatur pembelian senjata untuk eksekusi tokoh nasional.
Polisi menangkap Habil Marati di rumahnya di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2019).
"Tersangka selanjutnya adalah HM, seorang laki-laki beralamat di Jalan Metro Kencana Kelurahan Pondok Pinang. Ditangkap di rumahnya," kata kata Wadir Krimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indradi di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (11/6/2019).
Polisi membeberkan peran Habil Marati yang merupakan pemberi dana kepada tersangka Mayor Jenderal Purnawirawan TNI Kivlan Zen atau KZ.
"Maksud tujuan untuk pembelian senjata api, juga memberikan uang Rp 60 juta langsung kepada HK untuk biaya operasional dan juga pembelian senjata api," lanjut Ade.
HK adalah Helmi Kurniawan alias Iwan, mantan anak buah Kivlan Zen. Iwan juga yang diminta membeli dua senjata api laras pendek dan dua laras panjang.
Polisi merinci uang Rp 60 juta, di antaranya sebesar Rp 10 juta untuk operasional, dan Rp 50 juta untuk melaksanakan unjuk rasa.
"HM juga memberikan dana operasional sebesar 15 ribu SGD (Rp150 juta) kepada KZ. Kemudian KZ mencari eksekutor yaitu HK dan Udin, dan diberikan target 4 tokoh nasional," imbuh Ade.
Polisi menyita beberapa barang bukti dari tersangka Habil Marati di antaranya ponsel genggam untuk komunikasi dan print out transaski bank.
Peran Kivlan Zen
Polisi membongkar peran dan hubungan Kivlan Zen dengan para tersangka kepemilikan senjata api ilegal untuk aksi 22 Mei.
Bahkan, Polri memiliki banyak foto pertemuan Kivlan Zen dengan para tersangka di sejumlah tempat untuk merumuskan eksekusi tokoh nasional.
Polisi pun membeberkan peran-peran Kivlan Zen dan hubungannya dengan Helmi Kurniawan alias Iwan dan eksekutor lain seperti Tajudin, Azwarmi, dan Irfansyah.
"Tersangka KZ berperan memberikan perintah kepada tersangka HK alias I dan tersangka AZ untuk mencari eksekutor pembunuhan," ujar Ade.
Kompas TV yang menyiarkan langsung konferensi tersebut, polisi menyebut peran Kivlan Zen berikutnya memberi uang Rp 150 juta kepada Iwan untuk membeli beberapa pucuk senjata api.
Setelah Iwan berhasil membeli empat pucuk senjata api, Kivlan Zen masih menyuruhnya mencari satu senpi laras panjang lainnya karena yang ada belum memenuhi standar.
"Kemudian memberikan TO, target-target yang tadi, yang akan dieksekusi atau dibunuh, yaitu empat orang tokoh nasional dan satu orang pimpinan lembaga survei," sambung Ade.
Tak cukup di situ, Kivlan Zen pun memberikan uang Rp 5 juta kepada tersangka Irfansyah untuk mengintai Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.
Ponsel sebagai media komunikasi Kivlan Zen dengan para eksekutor pun sudah disita polisi.
Pengakuan para eksekutor diputar
Turut hadir dalam konferensi pers Kepala Divisi Humas Polri Irjen M Iqbal, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjend Sisriadi, dan beberapa pejabat Polri.
Salah satu rekaman yang diputar adalah pengakuan tersangka Iwan. Ia mengakui bersama Tajudin alias Udin bertemu Kivlan Zen di Kelapa Gading.
Iwan sangat menghormati Kivlan Zen sebagai mantan atasan dan seniornya.
"Saya diamankan polisi pada tanggal 21 Mei terkait ujaran kebencian dan kepemilikan senjata api dan ada kaitannya dengan senior saya, jenderal yang saya hormati dan saya banggakan yaitu bapak Mayor Jenderal Kivlan Zen," aku Iwan.
Pertemuan Iwan dan Udin dengan Kivlan Zen berlangsung Maret di Kelapa Gading.
Dalam pengakuannya, Iwan menyebut Azwarmi atau Armi adalah ajudan dan orang dekat Kivlan Zen.
Armi ini yang memegang senjata Mayer dan ladies gun.
"Mayer saya percayakan ke saudara Armi adalah sebagai pengawal, ajudan dan sekaligus drivernya bapak Mayjen," ungkap Iwan.
Sementara Tajudin mendapat instruksi dari Iwan untuk membunuh empat tokoh nasional di atas dan mendapat uang total Rp 55 juta untuk mengeksekusi target.
Polisi sudah menetapkan Kivlan Zen sebagai tersangka dan menahannya dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal. Ia ditahan di rumah tahanan Guntur, Jakarta.
Parkiran Masjid Pondok Indah
Rencana pembahasan eksekusi tokoh nasional yang disampaikan Kivlan Zen kepada Iwan dan Tajudin tak hanya berlangsung di Kelapa Gading.
Namun, ada juga tempat lain di mana Kivlan Zen bertemu dengan tersangka Iwan, Irfansyah dan tersangka Yusuf yang kini buron.
Polisi pun membeberkan beberapa gambar pertemuan Kivlan Zen dengan tersangka lain.
"Tersangka I, tersangka Y, tersangka AZ dan tersangka KZ itu bertemu di parkiran Masjid Pondok Indah," ungkap polisi.
"Di sinilah tersangka KZ memerintahkan tersangka I dan Y untuk mengintai dan melakukan observasi terhadap target direktur lembaga survei tadi," ungkap Ade.
Menurut hasil penyidikan polisi, Kivlan Zen menunjukkan foto target Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya kepada tersangka Irfansyah.
"Kemudian tersangka KZ memberikan uang sebesar Rp 5 juta untuk operasional (kepada Irfansyah, red)," sambung dia.
Sementara gambar lain yang menjadi petunjuk polisi adalah tersangka Irfansyah dan Yusuf sudah dua kali mensurvei, memfoto dan memvideokan kantor lembaga survei Charta Politika.
"Sudah survei dua kali dan foto-foto dan video-video survei sudah dilaporkan ke tersangka KZ. Itu di Jalan Cisanggiri, kantor lembaga survei menggunakan mobil," beber dia.
Pengakuan Irfansyah
Irfansyah mengaku mendapat perintah dari Kivlan Zen untuk membunuh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya.
Pengakuan Irfansyah disampaikan lewat rekaman video yang diputar Polri dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Irfansyah menjelaskan, pada 19 April 2019, dirinya ditelepon Armi untuk bertemu dengan Kivlan Zen di Masjid Pondok Indah, Jakarta.
Saat itu, Irfansyah tengah berada di pos sekuriti Peruri bersama temannya, Yusuf seperti dilansir Kompas.com dalam artikel: Ini Pengakuan Irfansyah, Diperintah Kivlan Zen Bunuh Yunarto Wijaya.
Keesokan harinya, dengan mengajak Yusuf, Irfansyah kemudian menuju Masjid Pondok Indah dengan menggunakan mobil Yusuf.
Setelah menunggu di lapangan Masjid Pondok Indah, Kivlan kemudian datang menggunakan mobil yang dikemudikan sopirnya, Eka.
Saat itu, kata dia, Kivlan Zen sempat salat terlebih dulu. Setelah itu, Irfansyah dipanggil Armi agar masuk ke dalam mobil Kivlan.
Di dalam mobil, kata dia, sudah ada Kivlan Zen sendirian.
Irfansyah mengatakan, Kivlan Zen saat itu mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan foto Yunarto dan memberi tahu alamat Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta.
Alamat tersebut adalah kantor Charta Politika Indonesia.
"Pak Kivlan berkata kepada saya, 'coba kamu cek alamat ini. Nanti kamu foto dan videokan'. 'Siap', saya bilang," cerita Irfansyah.
Menurut Irfansyah, Kivlan Zen mengaku akan memberikan uang Rp 5 juta untuk operasional.
"Beliau berkata kalau ada yang bisa eksekusi saya jamin anak dan istrinya serta liburan kemana pun," kata dia.
Kivlan Zen kemudian menyuruh Irfansyah turun dari mobil dan memerintahkan Eka untuk mengambil uang Rp 5 juta untuk Irfansyah.
Setelan menerima uang, Irfansyah kemudian pulang bersama Yusuf.
Survei lokasi keesokan hari pukul 12.00 WIB, Irfansyah mengaku bersama Yusuf mendatangi alamat yang diberikan Kivlan.
Dengan menggunakan ponsel Yusuf, mereka merekam suasana kantor dan memfoto.
"Foto dan video dikirim ke HP saya, saya kirim ke Armi. Armi jawab 'oke mantap'," ujar Irfansyah.
Irfansyah dan Yusuf kembali mensurvei kedua kali pada keesokan harinya pukul 12.00 WIB.
Mereka kembali merekam suasana kantor tersebut dan mengirim gambar serta video ke Armi.
"Tapi Armi tidak pernah menjawab lagi," ujarnya.
Setelah itu, keduanya kembali ke pos sekuriti. Mereka menyangka bahwa tugas sudah selesai.
"Sisa uang operasi kami bagi-bagi," ujarnya. Pada 19 Mei 2019, Irfansyah kemudian ditangkap polisi. (Tribunnews.com/TribunJakarta.com/Kompas.com)