Haris Azhar Tolak Jadi Saksi Sidang Sengketa Pilpres di MK, Singgung Sulman Aziz Hingga Respons BPN
Adapun terdapat 5 poin yang menjadi alasan Haris Azhar enggan hadir dalam persidangan
Penulis: MuhammadZulfikar | Editor: Rr Dewi Kartika H
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar masuk dalam daftar saksi yang akan dihadirkan kubu Prabowo-Sandiaga dalam sidang sengketa Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, (19/7/2019).
Namun Haris Azhar yang pernah menjabat Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tersebut tidak bersedia hadir dalam sidang tersebut.
"Saya menyatakan tidak bersedia hadir sebagai saksi dalam sidang sengketa Pemilu Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi pada hari ini 19 juni 2019," Kata Haris Azhar melalui pernyataan tertulisnya.
Ia mempersilahkan bila sidang Mahkamah Konstitusi menggunakan keterangannya yang telah ada dalam upaya pencarian kebenaran penyelenggaraan Pemilu Presiden.
"Silahkan menggunakan keterangan-keterangan yang telah ada dan dalam hal ini saya menilai lebih tepat apabilak Bapak AKP Sulaiman Aziz langsung hadir untuk dimintai keterangan dan diminta menjadi saksi dalam sidang ini," katanya.
Adapun terdapat 5 poin yang menjadi alasan Haris Azhar enggan hadir dalam persidangan.
Pertama, Haris mengatakan dirinya memberikan bantuan hukum kepada AKP Sulaiman aziz yang mengungkapkan adanya perintah dari Kapolres Garut untuk melakukan penggalangan dukungan kepada pasangan Jokowi-Maruf di Pilpres 2019.
Bantuan hukum yang diberikan berdasarkan profesi advokat yang ia jalani.
Kedua, dalam pekerjaan mendampingi Sulaiman Aziz berdasarkan pada hasil kerja advokasi, kecocokan atas dugaan dan fakta yang terjadi.
Serta mengingat nilai nilai profesionalitas polisi yang diharuskan netral dan tidak memihak pada Pilpres.
Menurut Haris Azhar, Sulaiman aziz merupakan whisterblower.
Ketiga, Haris Azhar mengatakan pendampingan hukum yang diberikan kepada Sulaiman Aziz dilakukan secara pro bono, yang bertujuan untuk mewujudkan profesionalitas penegak hukum.
Keempat, dalam keterangannya, Sulaiman aziz menyampaikan data-data pemetaan wilayah dan anggota kepolisian yang diarahkan untuk memberikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Maruf.
Kelima, Haris Azhar mengatakan dirinya merupakan bagian dari masyarakat yang menuntut akuntabilitas dan kinerja pengungkapan pelanggaran HAM di masa lampau.
Baik Kubu Jokowi-maruf maupun Kubu Prabowo-Sandiaga menurutnya memiliki catatan pelanggaran HAM.
Jokowi selama memerintah tidak menuntaskan kasus penggaran HAM, sementara Prabowo Subianto berdasarkan laporan Komnas HAM merupakan salah satu orang yang bertanggungjawab terhadap penculikan aktivis pada 1998 silam.
Singgung Sulman Aziz
Advokat pegiat isu hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar menolak untuk hadir sebagai saksi bagi pemohon BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (19/6/2019).
"Saya menolak untuk hadir. Yang harus diundang itu Sulman Aziz. Bukan saya yang diundang," tegas Haris saat diwawancarai melalui sambungan telepon oleh Kompas TV dalam program Breaking News, Rabu (19/6/2019) petang.
Sejumlah alasan menurut mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menjadi dasar menolak.
Diantaranya sebenarnya yang akan bersaksi bukan dirinya di hadapan Hakim Konstitusi.
Hal itu pernah disampaikan BPN Prabowo-Sandiaga.
Rencana awal, dia menjelaskan, mantan Kapolsek Pasirwangi Garut AKP Sulman Aziz yang akan menjadi saksi.
"Cuma Sulman Aziz itu polisi, harusnya surat permohonannya jauh-jauh hari. Ini kan baru kemarin diberitahu. Jadi Sulman Aziz tidak bisa datang," jelas Haris.
Karenanya Haris diminta untuk menggantikan.
Namun setelah berdiskusi dengan sejumlah teman, Haris memutuskan tidak akan hadir.
"Kalau saya tidak tepat, karena fungsi saya sebagai pendamping Sulman Aziz, ketika ia coba menyampaikan apa yang ia ketahui. Itu pertama," paparnya.
Kedua, cara mengundang Sulman Aziz menurut dia terlalu mendadak dan tidak profesional.
"Sulman Aziz itu kan polisi. Jadi baiknya institusi yang mengundang," jelasnya.
Selain itu, fakta yang ingin diungkapkan juga berkaitan dengan Undang-undang kepolisian.
"Jadi saya menjaga independensi ketentuan itu," ucapnya.
Terakhir dia tidak bersedia bersaksi untuk Prabowo-Sandiaga adalah Prabowo punya masalah pelanggaran HAM di masa lalu.
Begitu juga petahana Joko Widodo (Jokowi) menurut dia, juga tak memberikan solusi soal kasus HAM.
"Kedua belah pihak ini, 01 dan 02, Capresnya punya masalah dengan HAM. Kenapa juga saya harus memberikan kesaksian buat meringankan atau memberatkan salah satunya."
"Karena siapapun yang terpilih punya problem mengenai HAM menurut saya," ujar Direktur Eksekutif Lokataru yang juga aktivis 1998 ini.
• Tertunduk & Meringis Minta Ini, Saksi 02 Buat Hakim MK Tertawa hingga Sidang Terpaksa Diskors
• VIDEO Hakim MK Tegur Ketua Tim Hukum Prabowo: Kalau Tidak Stop, Pak Bambang Saya Suruh Keluar
• Sebut Kata Ini Saat Dicecar Tim Hukum Jokowi-Maruf, Saksi 02 Diprotes Hakim MK: Bukan Wewenang Anda
• Merasa Diintervensi Bambang Widjojanto, Hakim MK: Tak Bisa Stop Saya Akan Suruh Anda Keluar!
Respons BPN
BPN Prabowo-Sandiaga merespons soal sikap aktivis HAM sekaligus Direktur Utama Lokataru, Haris Azhar yang menolak menjadi saksi ahli tim hukum pasangan calon 02 dalam sidang lanjutan Sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami menghargai kalau misalnya bung Azhar merasa bahwa dia tidak tepat untuk memberikan keterangan sebagai saksi ahli karena itu adalah hak Azhar sendiri," kata Jubir BPN, Dian Fatwa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2019).
Meski demikian, sikap Haris menurutnya terkesan mendadak.
"Seharusnya jauh-jauh hari ketika tim kuasa hukum sudah mengontak Azhar, Bung Azhar seharusnya menyampaikan kepada kami, tiak pada saat akhir ketika beliau seharusnya bersaksi sehingga kami bisa mencari pengganti," katanya.
Lebih dari pada itu, Dian berharap saksi yang lain mampu memberikan keterangan yang mendukung terhadap petitum-petitum dalam permohonan yang diajukan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga. (Tribunnews.com)