Tanpa Perlindungan Data Pribadi, RUU KKS Bisa Jadi Senjata Memata-matai Masyakarat
tanpa adanya perlindungan data pribadi, maka semua orang yang tidak sependapat dengan para pemilik kekuasaan dapat dibungkam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sibersecurity tanpa adanya regulasi atas perlindungan data pribadi (PDB) yang kuat berpotensi memunculkan memunculkan pelanggaran HAM, salah satunya dengan dimata-matainya aktifitas masyarakat.
Dr.Jur.Sih Yuliana Wahyuningtyas menjelaskan, berbicara data dalam dunia siber terdapat data sensitif, misalnya pandangan politik seseorang.
Menurutnya, tanpa adanya perlindungan data pribadi, maka semua orang yang tidak sependapat dengan para pemilik kekuasaan bukan tidak mungkin dibungkam dengan dalih penangkapan atas pelanggaran undang-undang.
"Ada data sensitif seperti perlindungan data pribadi. Kalau saya tidak sependapat maka saya bisa ditangkap. Gawat ya? Hal seperti ini dalam perlindungan data pribadi mendapat perlakuan khusus. Bagaimana dalam sibersecutiry?" kata Yuliana dalam diskusi publik bertema Menyoal RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Bagaimana Potensi Ancamannya bagi Kebebasan Sipil di Kampus Atma Jaya, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
“Apapun yang kita lakukan bisa direkam negara, ini ngomong apa, temannya siapa saja, fotonya apa saja, pernah pergi kemana saja, posting apa? Apakah kita menginginkan itu? Saya kira tidak. Kita juga jadi takut memiliki pandangan politik berbeda dengan yang memegang kekuasaan," tambahnya.
Yuliana menegaskan sibersecurity baru dapat diefektifkan bisa negara telah memiliki regulasi yang solid dalam melindungi data pribadi.
Sementara itu, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar yang menjadi salah satu nara sumber dalam diskusi tersebut menegaskan bahwa tujuan inti dari sistem kemanan siber adalah perlindungan individu dengan mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penerapannya.
Yang menjadi persoalan menurut Wahyudi, tidak ada satupun aturan dalam RUU tersebut yang menyinggung letak keamanan individu termasuk perlindungan data pribadi, perangkat, dan jaringan serta mekanisme pengawasannya.
"Bayangkan sebuah produk undang-undang yang masih sangat prematur kemudian dipaksakan untuk disahkan dan diterapkan, maka yang terjadi kemudian adalah abuse of power," kata Wahyudi dalam diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif IDeka Indonesia, Anton Aliabbas, Ph.D.
"Publik akan bertanya-tanya ketika kewenangan yang tidak jelas dan rancu ini diterapkan. Siapa yang amankan kepentingan kami, individu, jaringan perangkat," ujarnya.
Di sisi lain, luasnya ruang lingkup ancaman terhadap konten destruktif yang didefinisikan secara subyektif dalam RUU tersebut menurut Wahyudi akan menghambat kreativitas, inovasi dan invensi teknologi siber.
Begitu pula komunitas ekonomi kreatif yang tumbuh begitu pesat di Indonesia dengan mengandalkan internet.
Polemik RUU KKS kata Wahyudi tidak akan terjadi andai saja DPR secara transparan mengundang pemangku kepentingan.
Dalam hal ini akademisi, pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta yang merupakan elemen dari ekosistem internet nasional, berembug bersama sebagaimana cara bangsa ini berdemokrasi dalam merumuskan dan menelurkan sebuah kebijakan bagi kemanfaatan masyarakat luas.
"DPR saya nilai gegabah dan apa yang mereka lakukan ini jelas mengganggu proses demokratisasi yang sedang kita bangun,” ujar Wahyudi.