Cerita Suka dan Duka Jadi Menteri, Gaji Rp19 Juta Tapi Kadang ‘Nombok’ Juga

Dana ini jumlahnya berbeda-beda setiap menteri atau kementerian atau pejabat tinggi negara, bergantung pada beban tanggung jawabnya

Editor: Kurniawati Hasjanah
TRIBUN/DANY PERMANA
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama dengan calon menteri di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (26/10/2014). Hari ini Presiden Joko Widodo mengumumkan nama-nama calon menteri untuk mengisi Kabinetnya yang diberi nama Kabinet Kerja. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

Setiap kali kunjungan ke daerah, Meutia menghabiskan dana sekitar Rp4 juta untuk bantuan kepada masyarakat. Itu tidak termasuk dana program departemen.

Menurut Meutia, sejumlah menteri lain pun pernah mengungkapkan keluhan serupa.

Namun, ia tak mempermasalahkan bila harus mengambil uang pribadi karena menjadi menteri adalah sebuah amanah.

Seorang menteri di bidang ekonomi disebut-sebut juga mengaku ”kehilangan” tak hanya rumahnya, tetapi juga sebidang tanah dan mobil mewahnya untuk menopang operasionalisasi jabatan menterinya.

Inilah sisi tidak mengenakkan untuk menjadi seorang menteri.

”Kalau menteri ingin lebih terhormat dan bergaya, memang semakin besar kocek yang harus ia keluarkan,” ungkap Paskah.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical, saat ditanya Kompas terus terang mengaku terpaksa menjual sejumlah saham perusahaannya untuk menomboki pengeluaran yang diakuinya sangat besar sekali sebagai menteri senior.

”Jabatan sebagai menko itu hanya untuk berbakti dan terus terang tidak enak. Karena dari segi dana, lebih banyak kekurangan daripada kelebihannya.”

“Kalau untuk berbakti kepada negara, tentu enak-enak saja menjadi menteri. Itu sebuah kehormatan,” ujar Ical.

Ical menambahkan, ”Menjadi menteri tidak bisa untuk mencari rezeki. Malah uang pribadi yang banyak terpakai. Punya saham terpaksa juga dijual untuk menomboki karena kalau tidak begitu, tidak cukup.”

”Mengapa nombok?”

“Misalnya, kalau kita harus cepat sampai ke tempat tujuan seperti Papua, ya terpaksa pakai uang pribadi. Ini yang tidak enak kalau menjadi menteri,” ujar Ical terkekeh.

Ical disebut-sebut acap kali menggunakan pesawat pribadinya untuk menjalankan tugas negara ke tempat-tempat yang jauh di pelosok.

Terkait itu, ia setuju jika gaji menteri dinaikkan.

 ”Itu terserah pada hasil kerja. Orang tidak bisa diukur dari jumlah yang diterimanya, tetapi dari hasil kerjanya. Apakah itu kerjanya cukup besar dan setara dengan gaji yang diterimanya.”

“Dalam alam reformasi ini, kerja menteri memang bertambah, tetapi juga harus disertai dengan kenaikan gajinya,” papar Ical.

Nah, itulah ulasan mengenai enak dan tidak enaknya menjadi menteri.

Jika Anda ditawari menjadi menteri, apakah Anda siap menanggung semua risikonya? (Intisari)

Sumber: Intisari
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved