Kisah Penjual Tisu Berkursi Roda di Pasar Mayestik Jaksel, Penyakit Polio Tak Membuatnya Menyerah

Di pintu masuk Pasar Mayestik Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Budi Tarsiwan (37) menjajakan tisu kepada pengunjung yang lalu lalang.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Suharno
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Penjual tisu dengan kursi roda yang pantang menyerah, Budi Tarsiwan (37) di Pasar Mayestik pada Senin (7/10/2019). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, KEBAYORAN BARU - Di pintu masuk Pasar Mayestik Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Budi Tarsiwan (37) menjajakan tisu kepada pengunjung yang lalu lalang.

Sebagian pengunjung mendekatinya dan membeli tisu yang dijual Budi.

Tak jarang, mereka yang membeli tisunya langsung bergegas pergi.

Tak mengharapkan uang kembalian dari Budi.

Di atas kursi rodanya, pria bertopi itu menjual tisu, masker dan beberapa permen.

Sejak pukul 09.00 WIB, ia sudah mulai berjualan tisu di pasar tersebut.

Dari rumah di kawasan Gandaria, Budi berangkat dengan menggunakan jasa ojek dalam jaringan (daring) menuju Pasar Mayestik.

Ia kemudian mengambil kursi roda yang dititipkannya di sebuah toko.

"Biasanya saya jualan sampai jam 18.00 WIB. Pas pulang kursi rodanya dibalikin, saya naik ojek online balik ke rumah," katanya kepada TribunJakarta.com di Pasar Mayestik pada Senin (7/10/2019).

Dengan kedua tangannya, ia mengitari Pasar Mayestik untuk mengharapkan kemurahan hati para pengunjung.

Entah dari mobil-mobil yang mengantre mencari parkir atau keluar hingga pengunjung yang hilir mudik.

Selepas berkeliling, ia berjualan di depan pintu utama Pasar Mayestik.

Polisi Ungkap Menantu Elvy Sukaesih Sudah 4 Kali Terlibat Kasus Narkoba

Menolak Menyerah

Sejak belia, Budi menderita polio yang menyebabkan kedua kakinya lumpuh.

Ia pun hanya mengandalkan kedua tangannya untuk bergerak sehari-hari.

Pada tahun 1996, pria asal Pemalang, Jawa Tengah itu memutuskan merantau ke Jakarta.

Kota tempatnya mencari peruntungan sekaligus ia anggap sebagai kota yang keras.

"Awalnya di sekitar Blok M. Di sana saya sempat mengemis. Belum punya kursi roda juga," katanya.

Di kawasan pasar Blok M, Budi tak jarang mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang di sana.

"Sampai diinjek-injek orang lagi berantem pernah saya alami," terangnya.

Namun, Budi tersadarkan bahwa mengemis tak membuat hidupnya berkah.

Ia mengubah hidupnya yang tadinya hanya menengadahkan kedua tangannya dengan beralih berjualan tisu.

Dari jualan tisu menggunakan kursi roda, hidupnya merasa dihargai oleh orang-orang.

"Tadinya kok mengemis enggak ada berkahnya kemudian ketika jualan, lebih dihargai orang," katanya.

Namun, pahit getir kehidupan yang keras di Ibu Kota pernah juga dialaminya.

Ia pernah ditipu orang jutaan rupiah saat hendak membangun sebuah usaha.

"Saya bayar sama orang sebanyak Rp 4 juta untuk tempat usaha. Tapi uangnya dibawa kabur tapi tempatnya enggak ada," tambahnya.

Alasan Pria Bunuh Selingkuhan Pacarnya Berawal dari Niat Pelaku Ingin Konsultasi Soal Pernikahan

Jualan Tisu di Pasar Mayestik

Dalam sehari berjualan tisu di Pasar Mayestik, Budi bisa meraup sekira Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu.

Biaya itu digunakan untuk membayar kontrakan dan keperluannya sehari-hari.

"Mobilitas saya sehari-hari menggunakan kedua tangan," tambahnya.

Saat berjualan di Pasar Mayestik, ia sudah terbiasa tersengat sinar matahari maupun guyuran hujan.

Kendati demikian, banyak orang yang merasa salut dengan Budi.

"Banyak orang bilang, kamu memotivasi orang-orang yang pemalas," katanya.

"Meskipun saya lemah tapi jangan terlihat lemah, malah harus berjuang," lanjutnya. (*)

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved