Korban KDRT Minta Visum
Korban KDRT Takut Lapor Polisi karena Merasa Tak Punya Bukti, Ini Kata Dokter
Korban KDRT umumnya baru melapor ke polisi saat mereka dianya lebih dari satu kali sehingga dalam proses pembuktian visum luka berangsur hilang.
Penulis: Bima Putra | Editor: Erik Sinaga
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, KRAMAT JATI - Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang umumnya perempuan cenderung tak langsung melapor ke polisi karena memiliki berbagai pertimbangan pribadi.
Takut cerai lalu anaknya jadi broken home, dicap perempuan tak 'baik' karena melawan suami, dan pertimbangan lain hasil budaya patriarki.
Korban KDRT umumnya baru melapor ke polisi saat mereka dianya lebih dari satu kali sehingga dalam proses pembuktian visum luka berangsur hilang.
Kepala Instalasi Forensik RS Polri Kramat Jati Kombes Pol Edy Purnomo mengatakan tak langsung melapornya korban menyulitkan dokter membuktikan luka penganiayaan.
"Secara medis sulit membuktikan kalau korban tidak langsung melapor, apalagi kalau lukanya sudah sembuh. Memang kebanyakan korban KDRT baru melapor setelah beberapa kali dianiaya," kata Edy di RS Polri Kramat Jati, Jumat (15/11/2019).
Sentra Visum dan Medikolegal RS Polri yang rata-rata per harinya melayani pembuatan visum untuk tiga korban KDRT kerap menangani kasus serupa.
Dampaknya hasil visum korban KDRT yang digunakan polisi sebagai alat bukti sulit membuktikan seluruh tindak penganiayaan perbuatan pelaku.
"Contoh korban sudah tiga kali jadi korban KDRT, pembuktian luka penganiayaan yang dialami kasus sebelumnya sulit. Mungkin hanya luka dari penganiayaan terakhir yang bisa dibuktikan," ujarnya.
Meski sulit dibuktikan, Edy menyebut korban KDRT tak perlu khawatir kehilangan harapan menang secara hukum di pengadilan.
Pasalnya KDRT merupakan kasus khusus yang pembuatan visumnya tak hanya melibatkan satu dokter spesialis, melainkan beberapa dokter ahli.
Pembuktian medis yang jadi pertimbangan polisi, jaksa, dan hakim mengadili pelaku KDRT dapat dilakukan lewat hasil pemeriksaan psikologis.
"Korban KDRT itu pasti mengalami trauma, dan itu membekas di dirinya. Dari pemeriksaan dokter spesialis jiwa bisa melihat dan membuktikan trauma akibat perbuatan pelaku," tuturnya.
Peran medis dalam mengungkap kasus kejahatan pun diakui secara hukum karena tercatat dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
Edy mengatakan visum hasil pemeriksaan dokter nyaris tak mungkin dibantah karena bersifat ilmiah sehingga dapat memperberat hukuman pelaku KDRT.