Sisi Lain Metropolitan
Potret Manusia Gerobak Musiman di Pinggiran Jakarta, Pilih Ngemper Sore Demi Sembako
Manusia gerobak memilih keluar siang sampai sore, lalu mengemper di pinggir jalan. Mereka tak cari rongsok, tapi berharap dapat sembako dari pelintas.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, PONDOK GEDE - Suasana jalanan Jakarta yang relatif sepi dimanfaatkan manusia gerobak duduk mengemper sejak sore jelang malam.
Mereka tetap turun ke jalan, tak peduli Jakarta masih menjadi episentrum virus corona atau Covid-19.
Tak heran ada seorang ibu membawa dua anak-anaknya yang masih kecil, bahkan ada juga suami yang membawa keluarganya.
Pandangan serupa mudah dijumpai di jalanan pingiran Jakarta, seperti Pondok Gede, Bekasi.
Tatang (38) di antara manusia gerobak yang memilih turun ke jalanan untuk mencari rongsok.
• Fakta Maling Kotak Amal Terciduk Lalu Diikat Warga Mataram, Sebelum Mencuri Pura-pura Salat
Pria asal Karawang ini membawa serta istri dan anaknya. Anak satunya lagi ia tinggal di Bekasi.
"Sudah dua bulan enggak ada pemasukan," cerita Tatang kepada TribunJakarta.com saat ditemui mengemper di pinggir jalan Pondok Gede, Rabu (29/4/2020).
Sejak Covid-19 mewabah, Tatang seperti sia-sia mendapatkan rongsokan.
Rongsokan yang ia dapat percuma ditimbang di para pengepul. Karena barang-barang itu tidak bisa diuangkan.
"Sebab banyak pabrik yang biasa daur ulang tutup," imbuh Tatang.
Selama ini rongsokan yang mereka dapatkan dibeli pabrik pendaur ulang limbah.
Masalahnya, pabrik ini tutup dan tak lagi mengambil barang rongsokan dari para pengepul.
Tatang sudah dua bulan ini menjerit, karena barang rongsokannya tak ada yang beli.
• Sinopsis Drama Korea Pelakor: The World of The Married Episode 11 Jumat 1 Mei 2020, Awas Spoiler!
"Makanya dua bulan terakhir saya pusing mikirin makan sama uang buat anak istri."
"Padahal biasanya sekali nimbang itu sebulan bisa dapat Rp 600 ribu," kata Tatang.
Akhirnya, bersama istrinya Enung, Tatang memilih untuk mengemper di pinggir jalan.
Mereka mengharapkan dapat bantuan sembako dari pengguna jalan.
Normalnya, Tatang keluar sehabis subuh untuk mencari rongsokan.
Namun, saat puasa Ramadan ini Tatang memilih keluar siang sampai sore.
"Kita begini supaya dapat sembako aja dari orang lewat."
"Sebab kalau enggak begitu, kita enggak makan," Tatang menambahkan.
Ia mengaku malu dengan apa yang dilakukannya, tapi hanya cara ini lah yang dapat menyelamatkan anaknya dari kelaparan.
"Mendingan ngemper begini sambil nunggu yang bagi-bagi sembako gratis demi kita makan."
• Polisi Bubarkan Pesta Ulang Tahun Wanita Bergaun Hitam di Sebuah Hotel di Medan, Begini Endingnya
"Apalagi sekarang banyak manusia gerobak musiman."
"Jadi kitanya benar-benar harus cepat datang ketika ada pengguna jalan yang bagiin sembako," ucap Tatang.

Sempat Jadi Penjahit
Tatang memilih menjadi manusia gerobak di Jakarta karena sulit mendapatkan pekerjaan di kampungnya.
Selepas lulus sekolah menengah atas, ia sempat bekerja sebagai penjahit di sebuah usaha konveksi.
Konveksi tersebut tak mampu bersaing hingga bangkrut.
"Saya bingung mau kerja apalagi. Akhirnya merantau aja mumpung waktu itu masih bujangan," kenang Tatang.
Sebelum ke Jakarta, Tatang melenggang ke Tangerang menjadi pekerja konveksi.
Kala itu, Tatang mendapatkan gaji Rp 300 ribu per minggu.
Jika dihitung-hitung, gaji sebesar itu masih lebih baik ketimbang hidup menggelandang sebagai manusia gerobak.
• Sederet Kasus Pencurian Kotak Amal di Jakarta Saat PSBB, Marbut Masjid Diminta Waspada
"Alhamdulillah dapat dan borongan begitu sistemnya. Lumayan seminggu dapat Rp 300 ribu," lanjutnya.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian konveksi tersebut tutup dan pindah.
Ia pun memutuskan kembali ke Karawangan sambil melamar pekerjaan di sana-sini.
"Akhirnya dapat kerja di pabrik pembuatan tabung gas. Tapi ya gitu, itu juga enggak lama."
"Jadi asal belum lama kerja, pabriknya tutup, padahal saya sudah nikah dan punya anak," ungkapnya.
Tatang sempat menganggur dan mengandalkan hidup dari hasil gaji istrinya, Enung (30).
Enung sempat menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi dari 2009.
"Gajinya waktu itu sekira Rp 1,2 juta."
"Saya cukupi saja karena waktu itu anak saya masih satu si Ikbal saja," sambung Tatang.
Pada 2014, Enung kembali ke tanah air dan ingin fokus mengurus anak.
• Viral Warga Cimahi Gantungkan Sayuran di Pagar, Cara Unik Bantu Sesama di Tengah Pandemi Corona
Tatang harus berpikir keras untuk mendapatkan pekerjaan lalu kembali merantau ke Tangerang.
"Dapat kerja jahit tapi di konveksi rumahan. Di situ lumayan lama dari 2014 sampai 2016," katanya.
Merasa upah yang diterimanya terlalu minim, Tatang menerima ajakan Edi, kakak iparnya, menjadi manusia gerobak.
"Saya cerita sama saudara saya, penghasilan kecil sementara anak nambah lagi, ada Ikbal sama Alin."
"Nah dari situ kakak ipar saya nawarin jadi manusia gerobak," katanya.
Mulanya, Tatang tak mengerti apa itu manusia gerobak.
Perlahan ia paham, menjadi manusia gerobak berarti harus memulung barang bekas pakai gerobak.
"Bagusnya enggak tidur di situ, kita disiapin bedeng, semacam rumah ala kadarnya dari pengepul," ungkapnya.
Tawaran tersebut pun Tatang ambil dan sejak 2017 memutuskan memboyong keluarganya ke Kota Bekasi.
Sekarang, manusia gerobak sudah jarang tidur di gerobaknya karena rata-rata sudah disediakan bedeng oleh pengepul atau bosnya.
• KABAR BAIK: Refund Tiket Bisa Diambil dalam 3 Hari via KAI Access, Begini Cara Mudah Registrasinya!
"Meski enggak bagus tapi masih bisa buat tidur. Jadi wajar aja makin banyak jumlahnya tiap tahun," jelas dia.
Awal-awal Tatang malu tapi dengan menjadi manusia gerobak bisa mencari uang lebih.

"Biar kata di awal pasti malu karena jadi pemulung atau disebut orang manusia gerobak," jelasnya.
Selama di Bekasi, untuk membantu ekonomi keluarga, Enung menjadi buruh cuci.
Tiap bulan ia mendapat upah sebesar Rp 700 ribu.
Sayangnya, sejak wabah Covid-19, ia tak menerima gaji full karena bekerja hanya sampai siang.
Ia kehilangan pekerjaan karena banyak pemilik rumah tak lagi menggunakan jasanya dengan alasan mencegah penularan Covid-19.
Di luar sana masih banyak manusia gerobak lain yang senasib dengan Tatang.