Virus Corona di Indonesia
Dilema Pemijat Tunanetra, Takut Tertular Covid-19 Tapi Harus Kerja
Gaung new normal yang membuat warga beraktivitas kembali tak sepenuhnya dinikmati tunanetra yang berprofesi jadi Tukang Pijat.
Penulis: Bima Putra | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA - Gaung new normal yang membuat warga beraktivitas kembali tak sepenuhnya dinikmati tunanetra yang berprofesi jadi Tukang Pijat.
Profesi mereka tak memungkinkan bila harus menerapkan jaga jarak sesuai protokol kesehatan, sementara Memijat jadi mata pencaharian.
Hal ini yang diungkapkan Yogi Madsoni, anggota Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jakarta Timur yang berprofesi jadi tukang pijat.
"Kekhawatiran tentunya ada, khawatir apa mereka (pelanggan) yang menulari kita Covid-19. Dilema sebenarnya saat new normal seperti ini," kata Yogi di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (21/6/2020).
Di lingkup Pertuni Jakarta Timur yang mayoritas anggotanya berprofesi tukang pijat sudah berupaya menerapkan protokol kesehatan.
Ketika menerima pelanggan mereka menerapkan melakukan apa yang dilakukan dokter, yakni menanyakan kondisi medis.

"Kalau pelanggan batuk, bersin, demam atau habis berpergian dari zona merah kita sarankan untuk jangan diterima. Kita juga rutin cuci tangan, memakainya masker," ujarnya.
Namun upaya pencegahan itu tidak sepenuhnya maksimal, Soni menuturkan mereka sadar langganan yang datang merupakan orang sakit.
Hanya segelintir orang yang datang ke tukang pijat bila keluhannya sedikit pegal, mayoritas sudah memiliki masalah kesehatan.
"Pencegahan dengan cara itu pun tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan. Ini mata pencaharian, sementara kebutuhan hidup terus berjalan," tuturnya.
Yogi sebenarnya memiliki penghasilan tambahan dari menjadikannya guru mengopersionalkan komputer untuk tunanetra.
Mengajar cara baca huruf braille, tapi di masa pandemi Covid-19 sekarang nyaris tak ada panggilan pijat dan mengajar untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Nasib teman-temannya sesama pemijat tunanetra pun tak lebih baik, mereka diburu membayar biaya kontrakan, uang sekolah, dan lainnya.
"Akhirnya balik lagi ke pribadi masing-masing, apakah menerima pelanggan yang sakit atau menolak. Karena walaupun ada bantuan tapi belum mencukupi," lanjut Yogi.