Temuan Kementerian PPPA: Ada Orangtua Ajarkan Radikalisme ke Anak, Anak Jadi Keliru Pahami Agama
Salah satu contohnya, teror bom di Surabaya tanggal 13-14 Mei 2018. Kasus itu menyebabkan tujuh anak dirawat
Penulis: Erik Sinaga 2 | Editor: Suharno
TRIBUNJAKARTA.COM- Radikalisme terhadap anak ternyata ada yang dipaparkan dari orang terdekatnya yaitu orang tua.
Temuan tersebut disampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kementerian PPPA).
Dari temuan tersebut, ada orang tua bahkan mengajak anaknya melakukan tindak pidana terorisme. Simak selengkapnya:
1. Ajarkan anak tentang radikalisme
Paham radikalisme serta terorisme pada anak biasanya disebarkan oleh orang-orang terdekat. Bahkan berasal dari keluarga inti.
Demikian diungkapkan Asisten deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi (Asdep PABHS) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kementerian PPPA) Hasan.
"Ada orangtua yang mengajarkan radikalisme serta mengajak anak melakukan tindak pidana terorisme," ujar Hasan dalam wabinar bertajuk 'Sosialisasi Pencegahan Anak dari Radikalisme dan Tindakan Terorisme', Rabu, (8/7/2020).
Meski demikian, Hasan menyebut, seorang anak terpapar paham radikalisme, belum tentu seratus persen akan melakukan tindak pidana terorisme.
Anak yang terpapar paham radikalisme itu hanya berpotensi melakukan tindak pidana terorisme.
"Anak yang terlibat terorisme, ya sudah pasti terpapar radikalisme," ungkap Hasan.
Soal akar persoalan radikalisme dan terorisme sendiri, menurut Hasan, yakni kemiskinan.
Sebab banyak ditemukan kasus anak terjerumus di dalam jaringan terorisme bukan semata ideologi, melainkan karena di bawah pengaruh, bujuk rayu serta janji diberikan uang.
"Anak itu sering dijanjikan gaji atau hal-hal berbau materi, jaminan seumur hidup, supaya tertarik terlibat dalam jaringan terorisme," ucap Hasan.
Catatan Kementerian PPPA, perkara terorisme yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku maupun korban, beberapa kali terjadi di Indonesia.
Salah satu contohnya, teror bom di Surabaya tanggal 13-14 Mei 2018. Kasus itu menyebabkan tujuh anak dirawat intensif.
Di antaranya, tiga anak dari pelaku terorisme di Rusun Wonocolo Sidoarjo, tiga anak terduga teroris yang ditangkap di Jalan Sikatan dan satu anak terkait bom di depan Kantor Polrestabes Surabaya.
Ada pula kasus terorisme di Sibolga, Sumatera Utara yang menyebabkan satu orang anak tewas.
2. Paparan Radikalisme Bikin Anak Keliru Pahami Agama
Paparan radikalisme dan ajaran terorisme dapat membuat anak keliru memahami agama.
Akibatnya, anak akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan agama.
Hal itu diungkapkan Asisten deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi (Asdep PABHS) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Hasan.
“Mereka (anak yang terlibat terorisme) melakukan kekerasan atau membunuh orang lain yang tidak sepaham,” ujar Hasan dalam Webinar bertajuk ‘Sosialisasi Pencegahan Anak dari Radikalisme dan Tindakan Terorisme’, Rabu, (8/7/2020).
Di sisi lain, Hasan menilai, anak lebih rentan menjadi incaran perekrutan kelompok teroris.
Sebab, pada usia-usia ini, anak dianggap tidak memiliki pemahaman agama yang kuat dan mudah dicuci otak.
“Anak lebih terlihat sikap, perilaku, perangai, akhlak yang tidak baik ketika terpapar (radikalime),” ucap Hasan.
Kemudian, lanjut Hasan, seorang anak yang terpapar paham radikalisme serta terorisme akan bersikap berbeda dengan seusianya.
Mereka, kata Hasan, tidak mau menerima pendapat orang lain yang tidak sepaham.
“Tidak peduli, tidak tenggang rasa pada orang yang bukan pada kelompoknya,” ujar Hasan.
Kemudian, anak yang terpapar paham radikalisme tersebut juga mudah berprasangka buruk dan menganggap orang atau kelompok lain sesat.
Akibatnya, lanjut Hasan, pemahaman agama yang keliru membuat karakter mereka merasa “eksklusif” karena merasa berada di jalur yang benar.
“Mereka sering mengatakan ‘thaghut’ untuk kelompok-kelompok yang berbeda dengan yang mereka,” ucap Hasan.
Catatan Kementerian PPPA, perkara terorisme yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku maupun korban, beberapa kali terjadi di Indonesia.
Salah satu contohnya, teror bom di Surabaya tanggal 13-14 Mei 2018. Kasus itu menyebabkan tujuh anak dirawat intensif.
Di antaranya, tiga anak dari pelaku terorisme di Rusun Wonocolo Sidoarjo, tiga anak terduga teroris yang ditangkap di Jalan Sikatan dan satu anak terkait bom di depan Kantor Polrestabes Surabaya.
Ada pula kasus terorisme di Sibolga, Sumatera Utara yang menyebabkan satu orang anak meninggal.
Kepala BNPT: Penyebar Paham Radikalisme Manfaatkan Media Sosial
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT) Boy Rafli Amar mengingatkan, penyebaran paham radikal tidak hanya dilakukan secara tatap muka.
Menurut dia, penyebaran paham radikal intoleran juga dilakukan melalui media sosial.
"Mereka juga memanfaatkan channel-channel dari akun media sosial," kata Boy Rafli dalam acara diskusi bertajuk "Sinergi BNPT dan Pemuda Pancasila dalam Membangun Kesiapsiagaan Nasional", Jumat (3/7/2020).
"Dan juga bahkan dalam hal-hal tertentu mereka sangat senang apabila media mainstream memberikan panggung kepada mereka untuk melakukan itu," ucap dia.
Ia juga menilai, media sosial saat ini masih menjadi sarana yang paling efektif untuk menghasut generasi muda agar terpapar paham radikal.
Mengingat, kata Boy Rafli, angka pengguna internet di Indonesia sudah mencapai di atas 140 juta orang dan 90 persenya memiliki akun media sosial.
Oleh karena itu, kemungkinan besar para penyebar paham radikal itu juga menggunakan media sosial.
"Dan tentunya kelompok muda di sana kalau kita lihat dapat dikatakan menjadi kelompok mayoritas pengguna media sosial," ujar dia.
Ia berserta jajarannya mengaku selalu melakukan pemantauan terhadap akun media sosial tertentu.
Pemantauan itu, menurut Boy Rafli, juga dilakukan bersama lembaga lainnya seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"Jadi kita membangun kerja sama kemudian melakukan identifikasi dan melakukan langkah-langkah kontra narasinya," ucap dia.
Sebelumnya, Badan Intelijen Negara ( BIN) menyebutkan, masyarakat yang berusia 17-24 tahun menjadi sasaran paham radikalisme, termasuk di Indonesia.
Paham radikalisme yang bersumber dari dalam maupun luar negeri manargetkan anak muda menjadi sasaran utama penyebaran paham tersebut.
"Memang yang disasar itu anak usia 17-24 tahun. Karena mereka masih muda, masih energik, masih mencari jati diri," ujar Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto saat diskusi Polemik di Jakarta, Sabtu (10/8/2019).
"Kemudian mereka juga semangatnya masih tinggi sehingga itu yang menjadi target utama para penyebar paham radikalisme," kata Wawan.
Ia mengatakan, paham radikalisme akan cepat terserap oleh anak muda di rentang usia tersebut, terutama jika mereka tak memiliki kemampuan berpikir kritis.
• Dugaan Bisnis Rapid Test Covid-19 di Rumah Sakit, Gugus Tugas Gelar Investigasi
• Setelah Sarapan, Wanita 32 Tahun Diduga Lompat dari Lantai 13 Hotel Kawasan Jakarta Pusat
• Bantu Penuhi Stok Darah PMI, Pelajar Jakarta Utara Gelar Pekan Donor Darah
Oleh karena itu, menurut dia, peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk memberikan edukasi, supaya paham radikalisme bisa terdeteksi secara dini.
"Paparan radikalisme ini biasanya masuk kepada mereka yang tidak kritis dalam mempertimbangkan sesuatu," kata Wawan.
"Oleh karena itu, kami tetap melakukan literasi publik dan digital, termasuk patroli siber guna mendeteksi secara dini paham-paham anti-Pancasila," ucap dia. (Kompas.com)