Pulau Jawa Tertinggi Perceraian Imbas Corona: Mayoritas Gugatan Istri & Aplikasi Permudah Urus Cerai
Kasus perceraian tertinggi terdapat di Pulau Jawa dengan mayoritas penggugat adalah istri. Perceraian meningkat imbas pandemi Covid-19.
Penulis: Ferdinand Waskita | Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNJAKARTA.COM - Perceraian meningkat selama pandemi Covid-19.
Pemicunya, persoalan ekonomi ataupun Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kasus perceraian tertinggi terdapat di Pulau Jawa.
Hal tersebut dipaparkan Dirjen Badan Pengadilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI, Aco Nur.
Aco mengungkapkan peningkatan drastis terjadi sejak Juni 2020 hingga saat ini.
"Datanya saya enggak bawa. Saya pernah membaca bulan April, Mei di bawah 20.000 (perceraian) di seluruh Indonedia yang daftar. Tapi setelah PSBB, meningkat menjadi 57.000. Di bulan Juni, Juli meningkat termasul di Agustus masih ada (peningkatan)," kata Aco usai meresmikan enam aplikasi di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jumat (28/8/2020).

Adapun untuk wilayah yang peningkatan kasus perceraian cukup tinggi berada di Pulau Jawa.
Hal tersebut sempat membuat penumpukan dari masyarakat yang mengurus cerai di pengadilan.
"Ada beberapa pengadikan tinggi yang memang peningkatannya cukup besar khususnya di Jawa Barat, Surabaya dan Semarang. Tapi untuk di luar Pulau Jawa peningkatannya tidak signifikan," kata Aco.
Aco menuturkan, selama pandemi Covid-19 ini mayoritas pengajuan cerai diajukan istri kepada suaminya.
"Akibat covid 19 kan banyak yang di PHK atau dirumahkan sehingga ekonoomi enggak berjalan lebih baik. Ibu-ibu enggak dapat jaminan dari suaminya sehingga banyak dari ibu-ibu yang menggugat suaminya," kata Aco.
Aplikasi Permudah Urus Cerai

Pengadilan Agama Jakarta Barat meluncurkan enam aplikasi untuk mempermudah masyarakat urus perceraian.
Keenam aplikasi itu yakni Drive Thru untuk pengambilan akta cerai dan salinan putusan, Simekar (sistem informasi manajemen keuangan perkara), Si Absari (sistem informasi pengambilan salinan putusan secara mandiri, Sembara (sistem informasi berbasis perkara), e-Kemas (elektronik survei kepuasan masyarakat dan indeks persepsi korupsi), dan Smart (sistem informasi manajemen surat masuk dan surat keluar).
Peluncuran keenam aplikasi ini dilakukan oleh Dirjen Badan Pengadilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI, Aco Nur, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat, Mohamad Yamin dan Wakil Wali Kota Jakarta Barat, M. Zen.
Dalam sambutannya, Aco Nur mengapresiasi terobosan ini. Ia menyampaikan bahwa masyarakat yang ingin mengurus perceraian bisa mengunduh aplikasi itu di smartphonenya sehingga tak perlu datang ke Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Selain mempermudah, ia menyebut aplikasi ini juga cukup membantu mengurangi penyebaran Covid-19 yang masih melanda lantaran mengurangi tatap muka dan kerumunan.

"Apikasi ini sesuai kebijakan Mahkamah Agung dalam menghadapi era digitalisasi untuk melayani masyarakat yang ingin mencari keadilan dengan cepat sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan," kata Aco saat meresmikan keenam aplikasi di Pengadilan Agama, Jakarta Barat, Jumat (28/8/2020).
Aco menyebut peluncuran enam aplikasi di Pengadilan Agama Jakarta Barat ini melengkapi 18 aplikasi yang lebih dulu diluncurkan Badilag untuk memudahkan masyarakat yang berperkara.
"Seperti aplikasi yami kami kembangkan di Badila, jadi enggak perlu lagi datang ke Pengadilan Agama untuk mendaftar perkara seperti yang sudah diterapkan oleh MA melalui e-court atau pendaftaran secara online karena di Perma Nomor 1 Tahun 2019 bahwa beracara di pengadilan di Indonesia melalui teknologi informasi," papar Aco.
Pilih Cerai karena KDRT

Nurhalimah (19) memilih untuk mengakhiri biduk rumah tangganya yang telah ia bangun bersama sang suami tiga tahun lalu.
Perempuan asal Desa Babadan, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu itu datang ke Pengadilan Agama (PA) Indramayu pada Selasa (25/8/2020).
Kedatangannya itu untuk mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.
Saat itu terdapat pula ratusan orang yang rela antre di PA Indramayu.
Dilansir dari TribunCirebon (grup TribunJakarta), Nurhalimah menuturkan alasannya mengajukan gugatan cerai.
"Saya korban KDRT," ujar Nurhalimah.
Nurhalimah menjelaskan, perasaannya tak kuat lagi menghadapi ulah suaminya yang kerap melakukan kekerasan fisik.
Bahkan, terakhir kali sang suami memukul hingga membuat mata Nurhalimah harus operasi.
Lebih lanjut, Nurhalimah juga mengalami memar dan lebam di bagian sekitar kepala.
• Lesty Kejora Masuk RS, Ayah Ceritakan Kronologi Sakitnya Sang Putri: Dari Seminggu Lalu Udah Ngeluh
• Polisi Akan Hentikan Penyidikan Kasus Lurah Saidun yang Mengamuk di SMAN 3 Tangsel
• Over Stay, 44 WNA Diamankan Imigrasi Jakarta Pusat
Nurhalimah tak menyangka nasibnya begitu malang setelah menikahi pria pujaan hatinya tersebut.
Padahal, ia menilai sang suami sangat baik ketika sebelum menikah.
Meski demikian, sejak awal menikah 2016, Nurhalimah mulai mengalami kekerasan fisik yang dilakukan suami.
Ketika mengawali biduk rumah tangga, Halimah berusia 16 tahun, sementara suami 24 tahun.
Kejadian KDRT tersebut bermula ketika dia meminta suaminya menjadi suami yang benar, mencari nafkah.
Bukan tanpa alasan Nurhalimah meminta suaminya untuk mencari uang.
"Dia masih seneng main, kerjanya cuma main depok-depokan (kesenian) saja," ujarnya.
Kini, dia berharap perpisahan adalah jalan terbaik.
Angka Perceraian di Indramayu Tertinggi
Angka perceraian di Kabupaten Indramayu menjadi yang tertinggi di Jawa Barat, disusul dengan Kabupaten Bandung.
Jika dirata-rata, ada 12 ribu pasangan bercerai setiap tahunnya di Kabupaten Indramayu, atau dengan kata lain ada sekitar seribu pasangan yang bercerai setiap bulannya.
Humas Pengadilan Agama Indramayu, Agus Gunawan mengatakan, ironisnya dari sekian banyaknya pengajuan gugatan cerai, tidak sedikit berasal dari pasangan muda.
Rata-rata usia mereka bahkan baru 20-24 tahun.
Hal ini pula yang membuat duda dan janda muda banyak ditemui di Kabupaten Indramayu.
"Selalu ada setiap hari pasangan muda yang bercerai, rata-rata usianya 20-24 tahun," ujarnya kepada Tribuncirebon.com, Selasa (25/8/2020).
Agus Gunawan tidak menampik, fenomena itu terjadi akibat pernikahan dini yang terjadi di masyarakat di Kabupaten Indramayu.
Sebagian besar dari mereka memanfaatkan batas usia menikah minimal yang ditetapkan pemerintah untuk segera menikah, yakni untuk laki-laki dan perempuan minimal harus berusia 19 tahun.
Terlebih, pada regulasi sebelumnya bahkan walau masih berusia 16 tahun, bagi perempuan sudah diperbolehkan menikah.
Dalam hal ini, belum ada penelitian khusus yang dilakukan Pengadilan Agama Indramayu terkait mengapa pernikahan dini diminati masyarakat di Kabupaten Indramayu.
Kendati demikian, diakui Agus Gunawan faktor pernikahan usia dini ini terhitung masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persoalan ekonomi.
Faktor ekonomi masih menjadi alasan yang mendominasi ribuan masyarakat di Kabupaten Indramayu bercerai setiap bulannya.
"Kalau dalam data gugatan itu faktor utamanya adalah ekonomi, ada juga pihak ketiga dan pernikahan dini," ujarnya. (TribunJakarta.com/Elga Hikari Putra/TribunJabar)