Sisi Lain Metropolitan
Kerap Tak Dapat Penumpang Ketika Menjadi Supir Angkot, Cerita Bagas Beralih Jadi Manusia Silver
Akhirnya, Bagas mencoba melakoni menjadi manusia silver. Setiap harinya, Bagas mampu mengumpulkan uang minimal Rp 50 ribu
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Erik Sinaga
Semenjak pandemi, angkutan umum pun harus mengurangi jumlah penumpang guna menekan penyebaran Covid-19.
"Sudah gitu ditambah kita enggak boleh angkut penumpang 6:4 lagi. Jadi kalau masih kayak dulu kena razia. Makin sepi kan. Makanya saya keluar dari kerjaan supir," ungkapnya.
Setelah keluar, Bagas mencari pekerjaan kesana-kemari.
Apapun jenis pekerjaan ia lakukan.
Klimaksnya, tepat empat bulan lalu, keluarga istrinya mengajak menjadi manusia silver.
"Mau enggak jadi manusia silver. Penghasilannya lumayan," kata salah satu anggota keluarganya.
Akhirnya, ia pun mencoba melakoni pekerjaan tersebut.
Setiap harinya, Bagas mampu mengumpulkan uang minimal Rp 50 ribu.
"Jadi memang di keluarga istri pada jadi ginian semua (manusia silver). Pas saya coba ternyat hasilnya lumayan, jadi saya lanjut sampai sekarang," ujarnya.
Kucing-kucingan dengan petugas P3S Sudin Sosial Jakarta Timur
Tiap pekerjaan tentulah memiliki resiko tersendiri.
Hal itu juga berlaku pada Bagas.
Sebagai pekerja di jalanan Ibu Kota, hatinya kerap cemas ketika menjadi manusia silver.
Bukan tanpa alasan, banyaknya satuan petugas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S) Suku Dinas Sosial Jakarta Timur membuatnya dihantui rasa was-was.
"Kalau kejaring sih alhamdulillah belum pernah. Jadi cuma dari cerita teman dan adik ipar aja. Kan pengurusan pengulangannya itu yang ribet. Makanya kita kayak kucing-kucingan sama petugas, ketimbang ke jaring razia dan di bawa ke panti," jelasnya.