Kisah dari Ciliwung
Kisah Nawan, 12 Tahun Jadi Pencari Ikan Sapu-sapu di Ciliwung: Mencari Sesuap Nasi dari Menebar Jala
Sungai Ciliwung menjadi sumber penghidupan bagi Nawan (46). Warga Tanjung Barat tersebut bergantung dengan sungai berair keruh yang membelah Jakarta.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, JAGAKARSA - Sungai Ciliwung menjadi sumber penghidupan bagi Nawan (46).
Sudah belasan tahun Warga Tanjung Barat tersebut bergantung dengan sungai berair keruh yang membelah Kota Jakarta.
Setiap hari, ia bertolak dari rumahnya di Kampung Lebak Sari, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, menuju bantaran Sungai Ciliwung untuk mencari ikan sapu-sapu, yang menjadi sumber penghasilan untuk keluarga di rumah.
Di suatu pagi, Nawan hendak menuju bantaran kali Ciliwung di kawasan Cijantung, Jakarta Timur.
Istrinya, Masruah (40), membantu menyiapkan pakaian untuk dibawa Nawan berangkat kerja.
Nawan mengambil sebuah karung. Karung itu dimasukkan plastik pakaian ganti, rokok, handphone, golok, jala dan beberapa karung yang dilipat.
Karung-karung yang disiapkan itu nantinya akan dipakai Nawan mengumpulkan ikan hasil tangkapannya.
Begitu semua barang sudah dimasukkan, ia mengikat karung itu dengan tali rafia.
Nawan mengendarai motor menuju kali Cijantung sementara karungnya diletakkan di depan jok.
12 Tahun Menangkap Ikan Sapu-sapu di Kali Ciliwung
Di bantaran Kali Cijantung dekat Sungai Ciliwung, ia bertemu dengan Upi (22) dan Aap (28) yang sedang mengeluarkan daging dari perut ikan sapu-sapu.
Daging ikan sapu-sapu itu dimasukkan ke dalam keranjang anyaman bambu.
Kedua anak muda itu telah lebih dulu menebar jala di sana. Sekira pukul 04.00 WIB, dengan senter di kepala, mereka sudah menembus pekat malam di bantaran sungai Ciliwung untuk mulai mencari ikan sapu-sapu.
Nawan pun mulai mencari ikan sapu-sapu. Ia mulai menanggalkan baju dan celana panjangnya sebelum menceburkan diri ke kali.
Hanya bercelana pendek, ia mulai membuat rakit dari gedebok pisang untuk memudahkannya menebar jala di tengah kali.
Sebelum kedua anak muda itu semangat bekerja mencari ikan, Nawan mengatakan ia telah lebih dulu mencari nafkah sebagai pencari ikan sapu-sapu di sana.
Nawan mengatakan ia sudah melakoni pekerjaan mencari ikan sapu-sapu selama 12 tahun.
Saat itu, ia diminta seorang pemasok untuk mencari ikan sapu-sapu.
Nawan mencoba peruntungan baru sebagai pencari ikan sapu-sapu semenjak berhenti dari pekerjaan sebagai petugas kebersihan di kawasan Melawai.
"Dulu banyak sekali, sampai bingung bawanya bagaimana," ujarnya kepada TribunJakarta.com di bantaran Kali Ciliwung pada Selasa (2/11/2020).
Nawan biasanya menebar jala ke Sungai Ciliwung di kawasan Lenteng Agung, Depok dan Cijantung.
Biasanya, ia memakai rakit yang terbuat dari gedebok pisang untuk mencari ikan sapu-sapu.
Seringkali ia meraup banyak ikan dari hasil menebar jala di daerah itu.
Di kalangan teman-teman dekat dan saudaranya, Nawan kerap dipanggil dengan nama Agung.
Kirim ke Pemasok
Hasil tangkapan dalam sehari tidak langsung dijual Nawan ke pemasok.
Setiap hari, ikan hasil tangkapannya disimpan di dalam lemari pendingin di rumahnya.
Sebelum disimpan, daging ikan itu harus dipisahkan dari badannya dan dibersihkan.
Bila sudah mencapai 40 kg sampai 50 kg, Nawan membawanya ke pemasok di sejumlah wilayah mengendarai sepeda motor.
Biasanya, ia mengirimkannya tiga hari sekali ke kawasan Cileungsi dan Bekasi.
Dulu, harga per kilo ikan kala itu masih Rp 2.500. Saat ini per kilonya sudah Rp 14.500.
Nawan tak tahu pasti mau diapakan daging sapu-sapu yang dijualnya itu.
Ia menduga bakal dijadikan bahan untuk membuat jajanan berupa siomay atau cilok.
Namun, Nawan belum pernah mendengar daging ikan sapu-sapu yang dijualnya membuat orang lain keracunan.
"Kalau buat orang mabok (keracunan) enggak mungkin, kalau mabok saya sudah dipenjara. Saya udah 12 tahun makan ikan ini, banyak juga yang makan ikan ini. Sama pemerintah juga enggak melarang," jelasnya.
Air pasang sulit mencari ikan
Namun, Nawan mengaku kesulitan menebar jala bila air sungai pasang akibat hujan atau banjir kiriman dari Bogor.
Soalnya, debit air yang meninggi mengakibatkan banyak sampah di sungai sehingga menyulitkan menangkap ikan.
"Kalau hujan enggak berhenti nanti air sungai pasang, kita tebar jala malah susah dapat ikannya. Sapu-sapu enggak bisa terlalu banjir terhalang sampah," lanjutnya.
Musim kemarau menjadi musim yang tepat untuk mencari ikan sapu-sapu karena debit air di sungai sedikit.
Hidupi 3 anak dari Menebar Jala
Dari hasil bergulat di air keruh sembari menebar jala sehari-hari, Nawan mampu menghidupi ketiga anaknya, Maulana Yusuf (25), Abdul Faqih (16) dan Mawardi Taher (6).
"Saya bisa menghidupi ketiga anak saya dari menebar jala di sungai ini. Anak-anak bisa sekolah juga dari sini. Bisa makan dari sini juga," ujarnya.
Masruah menambahkan suaminya tidak kalah dengan orang berpendidikan soal mencari rezeki.
Apalagi di masa sulit seperti ini tak mudah mencari pekerjaan.
"Ya alhamdulilah, sama yang orang sekolahan enggak kalah. Suami saya padahal enggak bisa baca tulis," katanya.