Kisah dari Ciliwung

Ingatan Penarik Perahu Eretan di Sungai Ciliwung: Dulu Tiap Bulan Sering Lihat Mayat Mengambang

Penarik perahu eretan, Azis (50) sudah tak asing lagi dengan keberadaan ular atau biawak di sekitar Sungai Ciliwung.

Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas
Azis menurunkan spanduk untuk mencegah air hujan masuk di Sungai Ciliwung yang membelah Kampung Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan dan Kampung Pulo, Jakarta Timur pada Rabu (4/11/2020). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, TEBET - Penarik perahu eretan, Azis (50) sudah tak asing lagi dengan keberadaan ular atau biawak di sekitar Sungai Ciliwung.

Sebelum dibangun di sekitar bantaran sungai ditanggul, pria asal Bumiayu, Jawa Tengah tersebut bahkan sering melihat mayat melintas di sungai tersebut.

Pemandangan itu sudah akrab di matanya.

"Kalau di sungai ketemu mayat sering. Waktu belum ada gusuran dan ditanggul, setiap bulan pasti ada aja (mengambang). Perempuan, laki-laki atau bayi pernah saya lihat," ujarnya kepada TribunJakarta.com pada Rabu (4/11/2020).

Namun, ia tidak berani menarik mayat yang mengambang itu ke atas perahunya.

Soalnya, Azis enggan berurusan dengan pihak kepolisian. Nanti, malah jadi panjang urusannya.

"Enggak berani angkut, resikonya polisi," ucapnya.

Kisah si penarik eretan sejak 1987

Azis tengah mengantarkan penumpang dengan perahu eretan di Sungai Ciliwung pada Rabu (4/11/2020).
Azis tengah mengantarkan penumpang dengan perahu eretan di Sungai Ciliwung pada Rabu (4/11/2020). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Hujan deras mengguyur kota Jakarta saat senja hari, Azis (50) terlihat masih bekerja mengantarkan penumpang dengan perahu eretannya.

Tangan kanan Azis sesekali menarik tali tambang yang membentang antara wilayah kampung Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan dan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur.

Sebuah kerekan yang dipasang di tali tambang memudahkan perahu kayu itu untuk menyeberang saat ditarik Azis.

Perahu eretan itu membelah Sungai Ciliwung yang berair keruh hingga ke tanggul di Kampung Pulo.

Beberapa orang menaiki perahu kayu itu untuk menyeberang ke kampung Bukit Duri.

Tak ada yang duduk di dalam perahu. Soalnya, meski perahu sudah ditutup dengan bahan spanduk, tempias tak terelakkan.

Air hujan membahasi bagian dalam perahu Azis.

Terlihat kalung tasbih dan rompi pelampung di bagian atas tempat tidurnya pada Rabu (4/11/2020).
Terlihat kalung tasbih dan rompi pelampung di bagian atas tempat tidurnya pada Rabu (4/11/2020). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Di tengah perjalanan, terlihat seorang penumpang mengeluarkan uang dari sakunya kepada Azis.

Azis langsung membuka kotak kayu yang berada di ujung kapal dan mengambil uang kembalian kepada penumpang itu.

Sesampainya, para penumpang yang sudah membayar kepada Azis turun lalu menaiki tangga ke atas tanggul.

Sudah lama, tarif perahu eretannya tak naik. Hanya sekitar Rp 2 ribu saja, penumpang bisa memangkas waktu lebih cepat.

Meski terlihat sederhana, sejumlah orang ternama pernah menaiki perahunya.

Sebut saja, Fauzi Bowo, Ahok hingga Jokowi.

"AHY saat nyalon jadi gubernur juga pernah naik ke sini," pungkasnya.

Kotak kayu kecil berisi hasil jasa penyeberangan pada Rabu (4/11/2020).
Kotak kayu kecil berisi hasil jasa penyeberangan pada Rabu (4/11/2020). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Pendapatan Menurun

Langit Jakarta saat itu tampak muram. Suasana itu sama seperti penghasilan yang didapat Azis sehari-hari selama pandemi.

Ia mengaku kehilangan banyak pelanggan yang naik ke perahu eretannya.

Biasanya, orang belanja atau karyawan pasar menaiki perahu eretannya untuk memangkas waktu ke Pasar Jatinegara.

Selain itu, anak-anak sekolah yang libur turut memberi dampak kepada isi koceknya.

"Di waktu normal bisa Rp 200 ribu sehari. Paling sekarang Rp 50 ribu," ujar pria yang sudah menarik perahu eretan sejak 1987 itu kepada TribunJakarta.com pada Rabu (4/11/2020) sore.

Azis (50) sedang duduk di bagian belakang perahu sembari memegang ponsel pada Rabu (4/11/2020).
Azis (50) sedang duduk di bagian belakang perahu sembari memegang ponsel pada Rabu (4/11/2020). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Di bulan Ramadan kemarin, perahu eretannya malah sangat sepi. Dalam sehari hanya ada satu sampai dua penumpang.

Ketimbang dulu, ia kini mengaku sudah tak mampu membiayai sekolah anaknya. Anak ketiganya yang berusia 9 tahun masih duduk di bangku SD.

Anak tertuanya, yang kini disekolahkan sampai menjadi seorang bidan, diminta membantu Azis untuk membiayai anak bungsunya itu.

"Kalau sekarang buat menyekolahkan anak berat. Anak yang paling besar bantu untuk menanggung anak saya yang bungsu," ujarnya.

Sementara anak perempuan kedua Azis, yang baru lulus SMA, saat ini belum memiliki pekerjaan lantaran sulit mencarinya di masa pandemi.

Dulu, kenang Azis, sebelum berdiri tanggul di sepanjang sungai Ciliwung, pendapatannya jauh lebih besar.

Baca juga: Pelaku Sampai Jatuh saat Bekap Guru Ngaji di Ruang Tamu, Korban Masih Hidup saat Dimasukkan ke Sumur

Baca juga: Januari-Oktober 2020, Kasus Kebakaran di Jakarta Barat Menurun

Banyak warga di bantaran kali yang mengandalkan perahu eretan Azis untuk menyeberang.

"Di bantaran kali, ada kuli-kuli panggul yang kerja di pasar tinggal di sana," ucapnya.

Ia juga sempat menunjukkan foto perahu eretannya yang dulu sering dinaiki penumpang sebelum berdiri tanggul di Sungai Ciliwung.

Kini, hanya tersisa perahu eretan milik Azis di sepanjang Sungai Ciliwung yang mengalir di wilayah Bukit Duri dan Kampung Melayu.

Mereka yang terkena gusuran imbas pembangunan tanggul telah pindah ke rumah susun sedangkan Azis tetap bertahan.

"Udah pada berhenti semenjak ada gusuran. Dulu banyak kini tersisa tinggal saya. Saya tidak mau pindah ke rusun jadinya tinggal di perahu," pungkas pria asal Bumiayu, Jawa Tengah, tersebut.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved