Sepi Terimbas Pandemi, Ini Cerita Rani Tukang Tambal Ban Wanita yang Rindu Pelanggan
Puluhan tahun menjalani hidup sebagai tukang tambal ban, rupanya ia justru mengaku rindu berkutat dengan ban kendaraan
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Erik Sinaga
Rani menceritakan dulunya ia hanyalah Ibu Rumah Tangga (IRT) biasa, layaknya perempuan usai menikah dan memiliki anak.
Naas, suaminya sakit diabetes dan gerak tubuhnya menjadi terbatas.
Padahal, hanya tambal ban sajalah yang menjadi sumber mata pencaharian keluarganya.
Setelah memutar otak dan mencari solusi bersama, Rani nekat mrnggantikan posisi sang suami dan menjadi tukang tambal ban hingga saat ini.
"Kalau tambal ban sudah ada dari 34 tahun lalu. Memang lokasinya ada di sini. Kemudian bapak sakit gula, saya yang gantikan. Kalau enggak begitu kan anak-anak enggak bisa lanjutin sekolah. Makan pun sulit," jelasnya.
Sejak pukul 07.00 WIB, Rani sudah bergegas menuju bengkel sederhananya menggunakan sepeda motor dari kediamannya di Cipinang.
Sementara suaminya menjaga ketiga buah hati mereka yang saat itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Mulanya ya enggak enak, dari kecil sampai tua berjuang terus. Tapi lama-lama justru menikmati pekerjaan," sambungnya.
Secara pendapatan, Rani menjelaskan tak banyak perubahan.
Sejak dahulu penghasilan sebagai tukang tambal ban selalu tidak menentu.
Semua tergantung pada rezeki yang ia dapat di hari itu.
Oleh karena itu, ia turut menyediakan jasa isi angin dengan bayaran Rp 1 ribu untuk sepeda dan Rp 2 ribu untuk sepeda motor.
"Kerja kayak gini intinya sama, pendapatan selalu enggak tentu. Makanya kita bisa beli beras dan lauk itu dari jasa isi angin yang biasanya lebih ramai," ungkapnya.
Meski begitu, semangatnya tak pernah padam. Ia tetap menjalani aktivitasnya dengan ikhlas dan berdoa ada rezeki baik datang kepadanya setiap hari.
Mengingat tugasnya sebagai seorang ibu, Rani selalu menutup bengkel sederhananya tiap sore menjelang malam.