Nestapa Warga Desa Sumber Urip, Puluhan Tahun Dihantui Banjir Akibat Jebolnya Tanggul Sungai Citarum
Tati mengisahkan sudah dua kali dirinya mengungsi akibat banjir besar yang menerjang Desa Sumber Urip, selama 45 tahun ia hidup.
Penulis: Dwi Putra Kesuma | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dwi Putra Kesuma
TRIBUNJAKARTA.COM, PEBAYURAN – Dua hari sudah, Tati Hayati (45) serta seluruh anggota keluarganya tidur dengan alas yang bisa dibilang ‘seadanya’ di posko pengungsian korban Banjir Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi.
Walaupun sempat bertahan di dalam rumahnya yang berada di Desa Sumber Urip, namun luapan air banjir air akibat jebolnya Tanggul Sungai Citarum terus mengalir hingga merendam rumahnya dengan ketinggian 1,5 meter.
Di Posko yang sejatinya adalah Masjid Al-Maghfiroh ini, ada ratusan warga yang bernasib sama dengan Tati.
Mereka, harap-harap cemas menunggu banjir surut agar bisa segera kembali ke rumah.
Bantuan pangan, obat-obatan, hingga pakaian, dan alas tidur menjadi hal krusial yang dibutuhkan oleh Tati dan pengungsi lainnya.
Kepada TribunJakarta.com, Tati mengisahkan sudah dua kali dirinya mengungsi akibat banjir besar yang menerjang Desa Sumber Urip, selama 45 tahun ia hidup.
“Pertama tahun 2017, terus tahun ini. Sudah dua kali ngalamin banjir besar kaya gini yang sampai harus mengungsi ya,” kata Tati di Posko Pengungsian, Senin (22/2/2021).
Tati mengatakan, banjir baginya sudah perkara rutin setiap tahun yang selalu datang.
Ketika musim hujan tiba, ia pun mengaku selalu dihantui perasaan khawatir akan jebolnya Tanggul Sungai Citarum seperti yang terjadi saat ini.
“Kalau hujan-hujan biasa juga banjir, tapi paling ya semata kaki atau sedengkul paling dalam. Tapi yang paling dikhawatirkan itu ya kalau jebol tanggulnya, seperti sekarang,” ungkapnya.
Kondisi yang bak mimpi buruk setiap tahun ini, sudah terjadi puluhan tahun silam, bahkan sebelum Tati lahir di dunia.
“Memang sudah dari dulu begini, dari zaman orang tua saya masih kecil juga sudah begini,” timpalnya.
Tati mengatakan, jebolnya Tanggul Citarum seperti yang terjadi saat ini hanya tinggal menunggu giliran.
“Ibaratnya Tanggul Citarum ini kan panjang ya, nah di bawahnya ada banyak desa-desa. Jadi setiap musim hujan itu tinggal nunggu, misalnya kali ini jebol di bagian desa yang mana. Nah kebetulan tahun ini jebolnya di bagian desa saya. Tapi semua desa juga ikut terdampak,” tuturnya.
Tak sempat terbesit menyelamatkan harta bendanya saat banjir menerjang, Tati mengungkapkan dirinya bersyukur bisa selamat dari banjir besar bersama seluruh anggota keluarganya tanpa terkecuali.
“Gak sempat, semuanya terendam. Motor, surat-surat berharga.Tapi yang penting semua selamat, apalagi ibu saya sedang sakit,” kata Tati didampingi ibunya yang duduk lemas di kursi roda.
Baca juga: Pedagang Pasar Tanah Abang Antusias Ikuti Vaksinasi Covid-19, Antreannya Sampai Mengular
Baca juga: Peserta Lansia Vaksinasi Covid-19 di Puskesmas Kramat Jati Membludak
Baca juga: Jelang Atalanta vs Real Madrid - Los Blancos Krisis Pemain saat Bertandang ke Stadion Gewiss
Tak hanya itu, Tati berujar satu-satunya sumber mata pencahariannya kini hancur terendam banjir.
Sawahnya yang baru saja dibajak dan siap untuk ditanam benih padi, rusak akibat banjir ini.
“Padahal sudah siap untuk tandur (tanam mundur), sudah dibajak juga. Tapi malah banjir, dihitung-hitung sudah keluar uang Rp 2 juta. Tapi saya belum parah, yang sudah siap panen tapi gagal juga ada,” katanya.
Akibat banjir ini juga, Tati menuturkan suaminya seorang diri nekat memaksakan diri tetap bertahan di rumahnya.
Hal ini ia lakukan, untuk menjaga harta bendanya dari aksi pencurian yang berpotensi terjadi.
“Namanya banjir gini suka ada saja yang masih jahat. Suka ada yang manfaatin kondisi Desa yang sepi nanti ngejarahin barang-barang warga,” paparnya.