Sisi Lain Metropolitan

Cerita Anak Pinggir Rel Kereta Manggarai, Hidup Keterbatasan: Ponsel Dijual, 2 Bulan Tak Sekolah

Warga pinggir rel kereta Manggarai - Bekasi hidup penuh keterbatasan. Pendidikan pun terabaikan ketika urusan perut belum terpenuhi.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Septiana
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Potret kehidupan keluarga Waluyo di pinggiran rel kereta api Manggarai di Jakarta pada Jumat (12/3/2021). Warga pinggir rel kereta Manggarai - Bekasi hidup penuh keterbatasan. Pendidikan pun terabaikan ketika urusan perut belum terpenuhi. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, TEBET - Warga pinggir rel kereta Manggarai - Bekasi hidup penuh keterbatasan.

Mereka tinggal di dalam bedeng ala kadarnya. Bahkan serba kekurangan. 

Pendidikan pun terabaikan ketika urusan perut belum terpenuhi.

Waluyo (41) mengatakan sudah dua bulan ini anak sulungnya, Putra (11) tak sekolah. 

Potret kehidupan keluarga Waluyo di pinggiran rel kereta api Manggarai di Jakarta pada Jumat (12/3/2021).
Potret kehidupan keluarga Waluyo di pinggiran rel kereta api Manggarai di Jakarta pada Jumat (12/3/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Di saat pandemi Covid-19, pihak sekolah meminta kegiatan belajar mengajar dilakukan secara virtual.

Akan tetapi, wajah dan suara siswa yang duduk di kelas 6 ini tak terlihat lagi semenjak dua bulan belakangan di layar ponsel.

Waluyo mengatakan ponsel satu-satunya milik keluarga harus dijual lantaran urusan perut tak bisa diajak kompromi.

Baca juga: Momen Pertemuan Maia Estianty dengan Ahmad Dhani dan Mulan Jameela: Sempat Foto Bareng Mantan

Baca juga: Cerita Waluyo Hidup di Pinggir Rel Manggarai: Kepala Anaknya Pernah Terbentur Bemper Kereta

Baca juga: Kecurigaan Amien Rais Terhadap Rezim Jokowi, Ada Pasal yang Mengatur Presiden 3 Periode

"Udah 2 bulan ini enggak sekolah online. Karena hp-nya dijual buat makan," ujar Waluyo, yang saat itu sedang berkumpul di tengah hamparan kerikil rel kereta.

Sebab, hidup mereka pas-pasan. Ponsel yang dijual seharga Rp 400 ribu-an itu digunakan untuk biaya susu keempat anaknya yang masih kecil.

"Ya, sekolah berhenti dulu," katanya lagi.

Pria berambut gondrong asal Boyolali itu mengatakan pihak sekolah tak tahu kondisi mereka. 

Pihak sekolah tak tahu lantaran tempat tinggal mereka sempat digusur.

Waluyo juga belum memberitahu kepada pihak sekolah.

"Belum tahu sih, kalau tahu sih ke sini gurunya. Tapi kan belum tahu karena tempatnya digusur," pungkasnya seraya merokok.

Cerita Waluyo, Kepala Anaknya Pernah Terbentur Bemper Kereta

Waluyo (41) merupakan salah satu warga yang hidup di pinggir jalur rel lama kereta Manggarai - Bekasi.

Bersama istrinya, Sa'anih dan keempat anaknya, Putra (11), Ahmad (5), Dana (4) dan Galih (2), mereka tinggal di bedeng pinggir rel.

Bedengnya terletak di tengah semak belukar.

Baca juga: Melihat Potret Hidup Pinggiran Rel Kereta Manggarai: Tidur Berdinding Plastik hingga Tanpa Listrik

Selama tinggal di pinggir rel, mara bahaya pernah menghampiri keluarganya. Beruntung, kejadian itu tak sampai ajal menjemput.

Kejadian itu berawal dari sang anak, Dana (5) yang pernah mengalami kecelakaan saat berada di dekat jalur rel lama.

Kepalanya sempat terbentur bemper kereta saat hendak berhenti dari arah Bekasi menuju Manggarai di dekat bedengnya.

"Iya ini dulu anak saya pernah kena bempernya. Kepalanya," cerita Sa'anih.

Akibatnya, kepala Dana memar. Sa'anih dan Waluyo bersyukur anaknya selamat dari mara bahaya itu.

Sa'anih bercerita kejadian awalnya tiada yang tahu.

Tahu-tahu, Dana sudah meringis kesakitan.

"Enggak tahu, dia lagi ngikutin bapaknya, bapaknya udah turun dari rel, anaknya belum. Bapaknya itu juga enggak tahu diikuti Dana," pungkasnya.

Ini Kisah Waluyo, warga pinggir rel Manggarai

Saat sore hari, Sa'anih (34), bersama keempat anaknya duduk beralaskan kasur di pinggir bekas jalur rel kereta api lama Manggarai - Bekasi.

Putra (11), Ahmad (5), Dana (4) dan Galih (2) terlihat asyik mengerubungi ibunya di atas kasur empuk di tengah hamparan bebatuan kerikil.

Beberapa kali anak-anak kecil itu saling bersenda gurau kadang diselingi rengekan akibat pertengkaran kecil. 

Candaan mereka sesekali ditemani suara deru kereta rel listrik yang melintas di jalur rel baru double-double track (ddt).

Penampakan bedeng pemulung berbahan plastik hitam di bawah kolong jembatan rel ddt Manggarai - Bekasi pada Jumat (13/3/2021).
Penampakan bedeng pemulung berbahan plastik hitam di bawah kolong jembatan rel ddt Manggarai - Bekasi pada Jumat (13/3/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Menikmati senja tak harus dengan pemandangan indah nan menawan.

Bagi keluarga Waluyo, menikmati senja di pinggir rel kereta merupakan sebuah hiburan gratis.

Mereka bisa melihat senja terbenam sembari menyaksikan kereta melintas ditemani suara bising pembangunan.

Sa'anih bercerita bahwa keluarga mereka merupakan perantau dari Boyolali, Jawa Tengah.

Seingat Sa'anih, mereka mengadu nasib ke Jakarta saat Putra, anak sulungnya baru berusia 40 hari.

Mereka sempat tinggal lama di kawasan Jakarta Barat. Di sana, Waluyo, suaminya, pernah berdagang nasi goreng. 

Sekitar tahun 2018, mereka baru pindah ke kawasan Manggarai untuk mencari pekerjaan baru.

Baca juga: Atta Lamar Aurel Bersamaan dengan Vicky Prasetyo Nikahi Kalina, Intip Seserahan, Siapa Paling Mewah?

Di Manggarai, Waluyo bekerja sebagai kuli serabutan. Penghasilannya pun pas-pasan.

Ketika ada proyek pembangunan jalur ddt, keluarga Waluyo terkena gusuran. Tak ada tempat tinggal, mereka kemudian pindah tak jauh dari lahan bekas gusuran.

Waluyo ditawari warga tinggal di bedeng reot yang terletak di pinggir rel.

"Sudah lima bulan ini kita tinggal di pinggir rel," ujar Sa'anih.

Tanpa Listrik

Hidup Sa'anih dan Waluyo serba pas-pasan. Mereka hidup di rumah seadanya tanpa listrik.

Baca juga: Momen Pertemuan Maia Estianty dengan Ahmad Dhani dan Mulan Jameela: Sempat Foto Bareng Mantan

"Di sini enggak ada lampu, di rumah pakai lillin," ujarnya.

Dapur pun tak ada. Sa'anih mengaku jarang masak. Bila lapar, ia membeli makanan untuk anak-anaknya di warung.

Sehari-hari, Sa'anih dan keempat anaknya jarang keluar. Biasanya ia keluar bila anaknya ingin bermain odong-odong di jalan. 

"Sehari-harinya udah, gitu aja," katanya.

Saat berbincang dengan Sa'anih, Waluyo (41), sang suami yang terpaut usia cukup jauh dengannya, muncul dari bawah rel.

Pria berambut gondrong itu baru pulang usai bekerja membetulkan bangunan di kawasan Manggarai.

Sembari merokok, ia menemui istri dan keempat anaknya kemudian duduk di atas bebatuan kerikil. 

Baca juga: Cerita Waluyo Hidup di Pinggir Rel Manggarai: Kepala Anaknya Pernah Terbentur Bemper Kereta

Waluyo mengatakan keluarga mereka tak dapat bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi Covid-19.

"Enggak dapat, kan KTP-nya Jawa, paling dari orang-orang panti atau yayasan yang suka datang. Dulu sering seminggu ada tiga kali, sekarang udah enggak ada semenjak digusur," lanjutnya.

Di tengah kehidupan yang serba sederhana itu, Waluyo tak menaruh harapan lebih kepada pemerintah. Sebab, ia sendiri juga tak tahu. Orang pinggiran seperti dirinya lebih sering diasingkan.

Bahkan, tinggal menunggu waktu saja keluarganya akan kembali tergusur dari pinggir rel ini.

Namun, bila ada orang yang memberi modal, Waluyo ingin coba merintis usaha dagang nasi goreng. Sebab, ia memiliki pengalaman berdagang nasi goreng. 

Istrinya pun menilai nasi goreng buatan Waluyo boleh dicoba.

"Dia kalau buat nasi goreng enak," ujar Sa'anih memuji suaminya itu.
 

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved