Menguak Istilah Ghosting dari Viralnya Hubungan Kaesang Pangarep dengan Felicia Tissue
Ghosting adalah strategi penyelesaian hubungan romantis, yang ditandai dengan tiga pendekatan.
Penulis: Dwi Putra Kesuma | Editor: Erik Sinaga
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dwi Putra Kesuma
TRIBUNJAKARTA.COM, PANCORAN MAS – Cerita cinta antara putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, dengan Felicia Tissue, dan Nadya Arifta, memunculkan istilah baru dalam sebuah hubungan yang disebut ‘ghosting’.
Namun, Sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui apa arti sesungguhnya dari istilah ghosting tersebut.
Menjawab pertanyaan tersebut, Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengungkapkan, menurut studi yang dilakukan di Western University Canada, ghosting adalah strategi penyelesaian hubungan romantis, yang ditandai dengan tiga pendekatan.
Pertama adalah strategi pemutusan (break up strategy). Devie mengatakan, pendekatan ini ditandai dengan aksi yang menunjukan ekspresi ketidaktertarikan secara nonverbal.
Baca juga: Usai Lamar Aurel, Atta Halilintar Menangis Dikirimi Video oleh Adik di Malaysia: Air Mata Pagi
“Tanpa memberikan penjelasan apapun, dengan harapan, pasangan dapat menangkap maksud yang ditunjukkan secara tidak langsung tersebut,” jelas Devie pada TribunJakarta.com, Senin (15/3/2021).
Lanjut Devie, pendekatan kedua adalah gangguan kontak (contact interruption), yang mana pendekatan ini ditandai dengan aksi berhenti berbicara, atau pun merespon pasangannya di seluruh jaringan komunikasi.
Baca juga: Hasil Liga Italia: Zlatan Ibrahimovic Absen, AC Milan Tersungkur di Kandang
“Bahkan hingga melakukan pemutusan teknis nomor kontak dan akun media sosial (blocked the phone number and social media),” bebernya.
Pendekatan ketiga atau yang terakhir, adalah dengan cara menghilang secara tiba-tiba.
“Aksi menghilang (disappearing act). Pendekatan ini ditandai dengan menghilangkan eksistensi secara langsung, seakan-akan tidak pernah terjadi hubungan apapun,” tuturnya.
Motivasi Melakukan Ghosting
Devie mengatakan, ada empat faktor yang mendorong seseorang hingga bisa berperilaku ghosting.
Pertama adalah kebebasan (disenggaged oriented). Untuk memenuhi hal ini, ghosting menjadi dilakukan karena bila pemutusan hubungan dilakukan secara langsung, berhadapan tatap muka akan lebih dramatis dan memerlukan upaya yang lebih kuat.
Baca juga: Lihat Ramalan Zodiak Cinta di Awal Pekan Ini: Aries Diminta Tenang, Virgo Ekspresikan Perasaan
“Pelaku ghosting khawatir akan menyakiti hati dari pihak yang dilepaskan,” ujarnya.
Faktor kedua adalah kondisi korban (recipient oriented). Devie berujar bahwa pelaku merasa pihak yang ingin dilepaskan telah melakukan berbagai hal yang dinilai tidak memberikan kenyamanan terhadap si pelaku sendiri.
Berbagai hal yang dinilai tidak memberikan kenyamanan tersebut di antaranya adalah berbohong, selingkuh (menjalin hubungan dengan orang lain), atau memiliki kualitas diri yang negatif.
Selanjutnya faktor ketiga adalah kualitas hubungan, yang mana pelaku ghosting menganggap hubungan yang tengah dijalaninya tidak serius hingga tak memiliki masa depan.
Baca juga: Kuasa Hukum Minta Rizieq Shihab Dihadirkan Langsung dalam Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur
“Sehingga pelaku merasa ghosting adalah jalan keluar terbaik dan tidak memerlukan penjelasan apapun,” ucapnya.
Faktor yang terakhir adalah putus asa yang dialami pelaku ghosting, sehingga ia merasa tidak ada jalan keluar lain untuk menghentikan hubungan, dan memilih ghosting sebagai jalan keluar.
Terakhir, Devie berujar bahwa Sherry Turkle yang merupakan Guru Besar Media dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), menyampaikan bahwa ghosting akan berdampak pada hilangnya rasa empati terhadap orang lain.
Baca juga: Dian Assafri Sebut KNPI Berencana Gelar Kongres Luar Biasa di Solo
“Dia menyebutnya sebagai kekejaman emosional (emotional cruelty). Bagi korban ghosting, perilaku ini membuat mereka merasa sangat tidak berdaya, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk didengar,” imbuhnya.
“Hal ini dapat mendorong perasaan kesedihan, kesendirian dan kecemasan. Mengingat, manusia secara alamiah memiliki panggilan untuk didengarkan. Didiamkan (ghosting) secara sistematis, tentu menjadi luka sosial yang kuat,” pungkasnya.