Ziarah Makam
Pantangan Ziarah ke Makam Datuk Banjir, Aparat Dilarang Pakai Seragam
Ada pantangan bagi mereka yang berziarah ke makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Lubang Buaya. Apa itu?
Penulis: Bima Putra | Editor: Wahyu Aji
Pun kebanyakan warga Lubang Buaya kala itu merupakan petani.
Perlawanan yang dipimpin Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah cukup membuat kewalahan penjajah Belanda.
"Pernah ada yang aparat yang datang mau ziarah, sudah dianjurkan untuk melepas seragam tapi enggak mau."
"Akhirnya ada saja yang istilahnya kena yang kurang bagus. Seperti dia jalan masuk terus jatuh, benjol," tuturnya.
Dalam kasus lain, ada aparat merasa seolah-olah dirinya tenggelam saat masuk ke area makam karena mengabaikan pantangan untuk melepas seragam dinasnya.
Lalu ada peziarah yang merasa kakinya seperti terperosok ke dalam lantai karena menolak mengikuti pantangan sesuai permintaan Mbah Datuk Banjir.
"Kita kan sudah bilang baik-baik. Artinya apa salahnya, kalau memang kita enggak cocok (dengan pantangan melepas seragam dinas saat ziarah) ya pulang."
"Di sini kan amanah, bukan profesi. Makannya saya benar-benar menertibkan banget orang yang pada ziarah," lanjut Yanto.
Baca juga: Ngabuburit di Rumah Belanda Keluarga Achmad Soebardjo: Napak Tilas Bapak Pendiri Bangsa
Selain makam Mbah Datuk Banjir, di area makam terdapat delapan pusara keturunan Mbah Datuk Banjir yang jadi juru kunci makam.
Tapi hanya makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah yang dikeramatkan, lokasinya berada dalam satu ruang dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 4 meter.

Untuk memasuki ruang makam Mbah Datuk Banjir yang terdapat satu kelambu, dan dua guci di bagian kanan dan kiri peziarah harus lebih dulu menemui Yanto pemilik kunci ruangan.
"Kalau pusaka Mbah Datuk Banjir ada di ruang lain, tapi enggak boleh diambil foto. Kalau kereta kuda di bagian belakang dulu digunakan untuk transportasi membawa hasil tani," ucap dia.
Bertarung dengan Buaya Siluman
Ia mengatakan pencetusan nama Lubang Buaya itu berawal saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.
"Menurut cerita kake knenek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto.
