Food Story
Cerita Warga Lenteng Agung Masak Semur Kerbau Andil: Zaman Dulu Orang Betawi Sampai Jual Tanah
Warga Lenteng Agung RT 004 RW 008, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Purwanti (40) masih menjaga tradisi Betawi
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, JAGAKARSA - Warga Lenteng Agung RT 004 RW 008, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Purwanti (40) masih menjaga tradisi Betawi dengan memasak semur kerbau andil menjelang hari Raya Idul Fitri.
Tradisi memotong satu kerbau utuh dari hasil andil (patungan) ini sudah dilakukan keluarga Purwanti sejak turun temurun.
Ia mengenang dulu sewaktu Anti, sapaannya, masih kecil, kerbau andilan itu ada di belakang rumahnya.
Sambil memberi makan, ia juga suka naik ke atas punggung kerbau.
"Dulu waktu saya masih kecil kerbau andilannya di belakang rumah. Jadi bisa naikin kerbaunya dan kasih makan. Bisa lihat kerbaunya mandi di Kali Ciliwung," ceritanya kepada TribunJakarta.com di rumahnya pada Rabu (12/5/2021).
Selain itu, Anti bercerita zaman dahulu, warga Betawi sampai menjual tanah untuk membeli kerbau saking mahalnya.
"Dulu orang beli kerbau sampai menjual tanahnya. Karena harga kerbau mahal. Setahu saya, zaman dulu harga bisa mencapai Rp 40 juta," tambahnya.
Ia melanjutkan salah satu warga di RW-nya dulu pernah menjual tanah demi membeli kerbau.
Kerbau yang dibeli dari hasil jual tanah kemudian diangon selama sebulan.
Pemilik kerbau itu kemudian menjual dagingnya kepada warga yang ingin andil.
"Nanti pemilik kerbau menentukan harga jual andilnya, dari situ bisa dapat keuntungan," tambahnya.
Ketika kerbau hendak disembelih, warga bergotong-royong membantu memotongnya. Kebersamaan itu dulu dirasakan Anti semasa kecil.
Baca juga: Cerita Warga Lenteng Agung Membuat Semur Kerbau Andil: Hidangan Khas Betawi Jelang Lebaran
Sekarang, tradisi andil kerbau di kampungnya sudah memudar. Anti tak lagi melihat kerbau dipotong bersama-sama oleh warga.
Hidangan Khas Betawi
Setiap mendekati hari Lebaran, warga Betawi menyiapkan hidangan semur kerbau andil.
Santapan ini selalu menemani masyarakat Betawi bersama opor dan sayur godog.
Di balik kelezatan daging kerbau itu, tersimpan makna kebersamaan antar warga meski saat ini sudah memudar.
Seperti kebanyakan warga Betawi lainnya, Warga Lenteng Agung RT 004 RW 008, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Purwanti (40), turut memasak semur daging kerbau untuk hidangan di Hari Raya Idul Fitri.
Baca juga: Bacaan Takbiran Idulfitri 2021 Beserta Panduan Lengkapnya dari Kementerian Agama
Anti, sapaannya, mengatakan, ia ikut andil atau patungan daging kerbau selama satu bulan sebelum puasa.
Namun, ada juga warga yang melakukan andil daging kerbau dengan sistem arisan bulanan selama setahun penuh.
Harga satu kilo daging kerbau saat ini seharga Rp 125 ribu.
Warga harus membayar panjer Rp 100 ribu untuk mendapatkan sekilo daging kerbau.
Warga kemudian melunasi sisanya dua hari sebelum pemotongan. Kerbau dibeli dari daerah Srengseng Sawah.
Lebaran kali ini, Anti membayar panjer sebesar Rp 300 ribu untuk tiga kilo daging kerbau.
Tersisa Rp 75 ribu yang harus dilunasi Anti.
Menurutnya, tradisi andil daging kerbau ini sudah dilakukan turun temurun sejak masa kakek neneknya.
"Ini sudah dari zaman kakek nenek. Dari zaman dulu tuh di kampung ini sudah melakukan tradisi ini," ungkapnya kepada TribunJakarta.com di rumahnya pada Rabu (12/5/2021).
Rumah Anti bersebelahan dengan rumah sejumlah saudaranya. Ada sekitar lima keluarga tinggal di sana.
Ia melanjutkan kelima keluarga itu juga rutin mengikuti andil daging kerbau jelang lebaran.
Biasanya, semur kerbau andil dihidangkan bersama dengan opor ayam kampung, sayur godog dan ketupat.
Baca juga: Besok Lebaran, Jangan Lupa Lakukan 5 Amalan Sunah Ini saat Malam Takbiran Idul Fitri
Kebersamaan
Bagi Anti, semur kerbau andil lebih dari sekadar santapan nikmat. Di balik itu, ada cerita kebersamaan.
Zaman dulu, cerita Anti, warga di lingkungannya yang ikut andil turut terlibat dalam memotong daging bersama-sama. Gotong royong itu yang kini sudah tak terlihat.
"Kalau jaman dulu yang ikut andil biasanya bantuin motong motong dagingnya. Jadi kekeluargaannya makin rukun," ujarnya.
Kini, proses gotong royong untuk memotong daging hanya keluarga inti saja tak melibatkan warga lainnya.
Anti berharap tradisi ini tetap dilestarikan agar tidak hilang. Ia melihat tradisi ini di lingkungannya sudah mulai memudar.
Baca juga: Jelang Idulfitri 1442 H, Tingkat Keterisian RS Rujukan Covid-19 di DKI Jakarta Dibawah 40 Persen
Anti bertekad meneruskan tradisi ini hingga anak cucunya.
"Kalau bisa, tradisi ini jangan sampai hilang," ujarnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jakarta/foto/bank/originals/warga-lenteng-agung-rt-004-rw-008-purwanti-40-memegang-semur-kerbau.jpg)