Putusan MK Soal Verifikasi Parpol Dinilai Sarat Akan Invisible Hands

Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa tahun terakhir ini sarat akan invisible hands

Editor: Erik Sinaga
TribunJakarta.com/Dionisius Arya Bima Suci
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) 

TRIBUNJAKARTA.COM- Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa tahun terakhir ini sarat akan invisible hands (tangan-tangan yang tidak terlihat).

Keterangan tersebut disampaikan Profesor Azyumardi Azra. Azra juga menilai sekarang ini oligarki dinastik juga semakin menguat.

“Saya melihat memang sejak 2018, 2019, 2020 putusan MK itu, maaf saja kalau kita harus bilang, tidak berpihak pada demokrasi, tidak berpihak pada warga (hak-hak konstitusional warga), lebih berpihak kepada oligarki-oligarki politik,” bebernya.

Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam serial diskusi bertajuk “Adakah Intervensi Politik Putusan MK Terkait Verifikasi Parpol” yang diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) secara daring dan disiarkan melalui kanal YouTube JIB Post. Narasumber lain yang juga hadir dalam diskusi itu ialah Hadar Nafis Gumay (Pakar Pemilu dan Demokrasi), Dr. Endang Sulastri (Anggota KPU RI 2007-2012), dan Neni Nur Hayati (Direktur Eksekutif DEEP-JIB) sebagai pemandu diskusi.

Selain adanya invisble hands dan menguatnya oligarki dinastik, menurut Azra, terdapat putusan-putusan yang dikeluarkan MK yang tidak berpihak kepada demokrasi. Salah satunya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tentang verifikasi partai politik.

“MK dalam periode kedua dalam periode Presiden Jokowi ini dan juga kemudian berlanjut dengan DPR hasil Pemilu 2019 itu mengeluarkan putusan-putusan yang sebetulnya tidak berpihak pada demokrasi. Salah satunya yang tidak berpihak ini, yang kita bahas hari ini tentang verifikasi itu,” kata Azra.

Baca juga: Kubu AHY Melarang Keras KLB Demokrat Gunakan Atribut Partai 

Di samping itu, ia merasa aneh terkait parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen pusat, namun memiliki kursi di DPRD harus melakukan verifikasi secara faktual dan administratif. Kedua verifikasi tersebut dinilainya cukup masuk akal kalau ditetapkan untuk partai politik yang baru.

“Partai yang sebetulnya tidak punya di parlemen pusat, tapi punya di DPRD itu harus juga diverifikasi faktual dan administratif, kan aneh juga. Kalau yang baru mungkin masih bisa masuk akal lah diwajibkan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual,” ungkapnya.

Menurutnya, apabila MK teguh, tangan-tangan gentayangan (invisble hands) itu akan sukar untuk mempengaruhi hakim-hakim MK dalam mengeluarkan putusan. Namun, lanjutnya, hal itu tergoyahkan karena diduga adanya trading.

“Saya lihat kecenderungannya adanya yang disebut dalam bahasa itu trading … DPR itu memberikan hadiah, menjual kepada MK itu perubahan undang-undang MK nomor 7/2020 yang itu juga kontroversial,” terangnya.

Salah satu yang menjadi kontroversi dalam perubahan undang-undang tentang MK tersebut ialah terkait umur hakim MK. UU 7/2020 mengubah usia calon hakim MK yang awalnya 47 tahun menjadi 55 tahun dan pensiun setelah menginjak usia 70 tahun. Menurut Azra, berada di sebuah posisi atau jabatan dalam rentang waktu yang lama akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang sulit untuk dihindari, termasuk dalam hal ini soal durasi hakim MK.

Baca juga: Marzuki Alie Tanggapi Santai saat Dituduh Ikut KLB Partai Demokrat

“Hakim juga bukanlah malaikat. Jadi bisa saja dalam periode yang panjang itu, 15 tahun itu kemudian tergoda ke sani-sini, ditarik ke sana-sini. Mahkamah Konstitusi ini, maaf saja, semakin kehilangan kredibilitasnya,” kritiknya.

“Jadi, kalau ditanya sekali lagi, apa ada campur tangan/intervensi politik? Menurut saya ada. Kalau saya ditanya, jawabannya ada, tapi tidak terlihat. Itu melalui apa yang tadi sudah saya sebut invisible hands, tangan-tangan yang tidak terlihat yang gentayangan di mana-mana termasuk tentu saja juga ke MK (hakim-hakim MK),” imbuh Azra.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini juga mengingatkan agar para pihak yang ingin melakukan judicial review (JR) untuk mepersiapkan diri secara mentalitas apabila nantinya MK mengeluarkan keputusan yang tidak memihak kepada orang-orang yang terpinggir secara politik.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved