Hari Ini 100 Tahun Kelahiran Soeharto, Prabowo Subianto Akan Hadir Pembacaan Doa di Masjid At-Tin

Hari ini tepat 100 tahun usia mendiang presiden RI kedua Soeharto yang lahir pada tanggal 8 Juni 1921.

Editor: Wahyu Aji
AP PHOTO/CHARLES DHARAPAK
Presiden Soeharto pada saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 21 Mei 1998. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Hari ini tepat 100 tahun usia mendiang presiden RI kedua Soeharto yang lahir pada tanggal 8 Juni 1921.

Titiek Soeharto salah satu putrinya meminta doa untuk mendiang ayahnya lewat akun instagram yang dikutip Wartakotalive.com, Selasa (8/6/2021). 

Memperingati 100 thn kelahiran Ayahanda tercinta HM SOEHARTO

Mohon doa dari segenap sahabat warganet semoga almarhum diampuni dosa-dosanya, diterima amal ibadahnya dan mendapat tempat yg muliai disisi ALLAH SWT.. Aamiin..

Alfatihah... demikian tulis Titiek Soeharto.

Mengenang Soeharto yuk kita melihat sejarah bagaimana perjuangan Soeharto dari kecil hingga menjadi Presiden kedua.

Dikutip dari Wikipedia, Soeharto lahir di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921.

Soeharto dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.

Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.

Dalam autobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga.

Baca juga: Masjid Istiqlal: Antara Tokoh Islam, Soekarno-Soeharto hingga Karya Nonmuslim Simbol Persatuan

Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit.

Sebelum Soeharto berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya, Kertosudiro.

Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto.

Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto.

Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II.

Baca juga: Gurih Kuah Semangkuk Bakso Cendana yang Legendaris di Menteng: Langganan Keluarga Soeharto

Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto.

Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif.

Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.

Ketidakjelasan asal usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan.

Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan.

Baca juga: Revitalisasi Monas Langgar Keppres No 25/1995 era Soeharto, Pemprov DKI Jakarta Akan Mengkaji

Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya.

Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro.

Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo

Sejarah masa kecil Soeharto

Masa kecil Presiden Soeharto sebelah kanan foto kiri masa kecil Soekarno  (istimewa)
Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro.

Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD).

Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya.

Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD.

Mbak Tutut bersama Presiden Soeharto dan Ibu Tien.
Mbak Tutut bersama Presiden Soeharto dan Ibu Tien. (instagram @tututsoeharto)

Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.

Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah.

Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul.

Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.

Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo.

Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo.

Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro.

Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian.

Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk.

Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa.

Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri.

Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.

Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit.

Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta.

Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).

Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi.

Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.

Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). 

KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara.

Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai

Karir Soeharto 

Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral.

Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.

Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto
Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto ((Istimewa/Arsip Kompas))

Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu.

Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.

Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel.

Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi.

Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.

Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam.

Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.

Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953).

Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.

Lembaran hitam juga sempat mewarnai perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal  Nasution sebagai Pangdam Diponegoro.

Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah.

Atas saran Jenderal Gatot Soebroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat.

Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.

Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD).

Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd (Yugoslavia), Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman Barat).

Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar.

Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.

Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.

Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.

Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.

Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965.

Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.

Politik 

Dimana Pak Harto saat penculikan G30S PKI? (dok Kompas/istimewa)
Soeharto adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno.

Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang senantiasa tersenyum dan menunjukkan keramahan.

Meski begitu, dengan berbagai kontroversi yang terjadi ia sering juga disebut sebagai otoriter bagi yang berseberangan dengannya.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.

Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan atas perintah dari Presiden Soekarno, salah satu yang dilakukannya adalah dengan menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang.

Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000 hingga 2 juta jiwa, namun jumlah ini patut dipertanyakan karena korban dari Gerakan 30 September juga banyak.

Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 26 Maret 1968[6] menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968.

Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa.

Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J Habibie.

Selama 32 tahun pemerintahannya Soeharto meletakkan pondasi pembangunan di Indonesia melalui Repelita.

Ibu Tien Soeharto dan Pak Harto
Ibu Tien Soeharto dan Pak Harto (Dok. Istimewa Intisari)

Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.

Dalam era ini masyarakat mendapati harga bahan-bahan pokok yang terjangkau dan situasi keamanan dan ketertiban yang terjaga, juga tercapainya Swasembada Beras.

Hal ini ditandai dengan medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden Soeharto.

Soeharto juga merupakan sosok yang kontroversial karena membatasi kebebasan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, pemaksaan azas tunggal Pancasila di berbagai bidang dan disebut sebagai salah satu rezim paling korup dalam sejarah dunia modern.

Menurut Transparency International, estimasi kerugian negara adalah sekitar 15–35 miliar dolar Amerika Serikat selama pemerintahannya.

Namun, hal ini tidak berhasil dibuktikan, bahkan Majalah Time kalah dalam gugatan dan usaha lain untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk.

Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ.

Peringatan 100 tahun kelahiran Soeharto

Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Presiden RI ke-dua Jenderal Besar HM Soeharto, berbagai kalangan masyarakat akan berkumpul di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, sore ini, Selasa (8/6/2021).

Media Relation Panitia Seabad Soeharto, Aron mengatakan, nantinya para masyarakat yang hadir akan membacakan Yasin, tahlil dan tahmid.

Berdasarkan informasi yang diterima Tribunnews.com, rencananya acara tersebut akan digelar pada pukul 15.30 WIB atau ba'da Ashar.

"Memanjatkan doa bersama untuk almarhum Pak Soeharto, serta membacakan Yasin, tahmid dan tahlil, pukul 15.30 WIB hinga selesai," kata Aron saat dikonfirmasi, Selasa (8/6/2021).

Lebih lanjut, pihak Panitia Seabad Soeharto menjamin kegiatan doa bersama yang diselenggarakan secara offline ini akan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Selain itu, acara ini juga akan disiarkan secara langsung melalui layanan streaming online di ratusan masjid di Indonesia.

Kata Aron, dalam agenda doa bersama nantinya di Masjid At-Tin, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto dijadwalkan akan hadir.

"Prabowo Subianto akan hadir," tukasnya.

Kendati begitu dirinya belum dapat memastikan betul terkait kehadiran dari Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Diketahui, pada hari ini Selasa 8 Juni 2021 tepat 100 tahun lahirnya Presiden RI ke-dua yakni Jenderal Besar TNI HM Soeharto atau tepatnya pada 8 Juni 1921.

Mantan Presiden kelahiran Bantul, Yogyakarta ini menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia selama kurang lebih 31 tahun sejak 1967 sampai 1998, menggantikan Presiden RI Pertama Ir. Soekarno.

Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya pada 27 Januari 2008 dalam usia 86 di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.

Sebagian artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul 100 Tahun Soeharto, Mengenang Masa Kecil, Jadi Tentara Hingga Jabat Presiden Kedua RI

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved