Emak Hidup Susah Sebatang Kara Ditinggalkan Anak, Makan Sayur Asem & Ikan Asin Sudah Paling Mewah
Fitriyani (56) atau sering dipanggil Emak hidup sebatang kara di kontrakannya di Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Siti Nawiroh
TRIBUNJAKARTA.COM - Fitriyani (56) atau sering dipanggil Emak hidup sebatang kara di kontrakannya di Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Suami meninggal saat Emak mengandung anaknya bernama Muhammad Wahyudin pada tahun 1995.
Kini, usia Muhammad Wahyudin sudah 26 tahun.
Namun, keberadaannya tak diketahui Emak sejak 16 bulan lalu.
Baca juga: Denise Cadel Buat Pengakuan Mengejutkan saat Lupa Matikan Live IG, Uya Kuya Ngakak: Makasih Netizen!
Saat itu, Wahyudin pamitan ke Emak hendak berkunjung ke rumah temannya.
Namun sampai saat ini, Wahyudin tak pernah lagi memberikan kabar kepada sang ibunda.
"Anak saya sudah lupa sama orangtuanya. Sudah 16 bulan enggak pulang. Bilangnya mau pergi ke rumah teman. Enggak pernah ngabarin saya," ujarnya seraya menangis.
Tinggal sebatang kara, Emak harus berjuang sendiri demi menghidupi dirinya dari hari ke hari.
Di tengah nasib malang yang menimpanya, Emak tetap bersyukur masih bisa makan dengan seadanya walau berat.
Follow juga:
Kepada TribunJakarta.com, Emak bercerita sering bersantap hanya dengan nasi, dan kecap.
Untuk menambah rasa, ia menaburinya dengan garam.
"Bukan berat lagi, ini benar-benar berat. Kalau untuk makan yang penting ada beras, garam dan kecap. Itu yang penting," ungkapnya.
Bahkan, emak bercerita bersantap sayur asam dan ikan asin saja sudah makanan mewah baginya.
"Sayur asem dan ikan asin bukan mewah lagi buat saya. Seminggu sekali makan ini juga enggak," ujarnya dengan nada bergetar.
Baca juga: Viral Video Rossa Ungkap Bayarannya Sekali Manggung, Ari Lasso Terkejut: Bukan Pamer, Tapi Prestasi
Makin sulit di tengah pandemi
Emak hidup di rumah kontrakannya yang sederhana.
Di rumah petak itu, ia tidur beralaskan kasur lapuk.
Di depan kasur terdapat televisi cembung kecil yang terkadang berubah hitam putih. Di bawah lantai, berserakan berbagai macam perabotan rumah dan pakaian.
Sebelum pandemi Covid-19, ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bantu-bantu jualan minuman di kampus.
Dalam sehari, emak mendapatkan uang Rp 50 ribu.

Baca juga: Covid-19 Varian Inggris, Afrika & India Mengkhawatirkan, Anak Buah Aneis Minta Warga Jakarta Waspada
Baca juga: Pria 45 Tahun Tewas Jadi Korban Tabrak Lari di Kemayoran, Polisi: Kami Buru Sopir Mobil Sampai Dapat
Penghasilannya digunakan untuk membayar kontrakan setiap bulan.
Semenjak pandemi Covid-19, kampus tutup sehingga penghasilannya ikut-ikutan hilang.
Emak kemudian mencari penghasilan lain. Terkadang, ia membantu menggosok pakaian tetangga.
Namun, penghasilannya kerapkali tak cukup untuk membayar kontrakan.
Belakangan, emak juga memunguti berbagai plastik dan kardus yang ditemuinya di jalan. Kemudian ia jual ke pemilik lapak dengan pendapatan yang tak seberapa.

Beruntung, emak memiliki pemilik kontrakan yang memahami kondisi hidupnya.
Emak dibolehkan menyicil biaya kontrakan per bulan. Cicilannya pun jarang dilunasinya.
Pemilik kontrakan juga sering memberikan lauk untuk makan emak.
Terpuruk di Tengah Pandemi
Sejak suami meninggal dan anak tak ada kabar, Emak pun harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
Ia mengaku mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi Covid-19.
Baca juga: Dijemput Vicky Prasetyo, Kalina Oktarani Minta Diajari Jadi Istri yang Baik: Jangan Buat Sedih Terus
Namun, bantuan itu kerap dijualnya untuk membayar kontrakan.
Di tengah nasib malang yang menimpanya, emak tetap bersyukur masih bisa makan dengan seadanya.
"Dibilang susah, mungkin ada yang lebih susah lagi di bawah saya. Masih bersyukur masih bisa ketemu makan. Saya enggak liat yang ke atas tapi di bawah saya," pungkasnya. (*)