Ketika Putra Kepala Suku Asal Papua Mengajar Anak Suku Dayak di Perbatasan: NKRI Harga Mati
Melihat prajurit TNI putra kepala suku asal Papua mengajar anak-anak Suku Dayak di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Yogi Jakarta
TRIBUNJAKARTA.COM - Melihat prajurit TNI putra kepala suku asal Papua mengajar anak-anak Suku Dayak di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Semua itu menjadi bagian tugas Prada Yulian Mandacan sebagai Anggota Satgas Pamtas Yonif Mekanis 643/WNS.
Pria asal Manokwari, Papua Barat ini, selain menjaga perbatasan Indonesia-Malaysia, bersama kesatuannya juga ditugaskan untuk mengajar para anak-anak Suku Dayak yang tinggal di daerah perbatasan.
Salah satu titik yang jadi tempat mengajar Prada Yulian bersama Anggota Satgas Pamtas Yonif Mekanis 643/WNS adalah di Dusun Panga, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Ayah Prada Yulian semasa hidupnya adalah seorang kepala suku di daerah Manokwari, Papua Barat.
Baca juga: Bocah SD Ngeluh Nyeri di Bagian Ini Usai Dianiaya 2 Oknum TNI, KSAD Andika Perkasa Turun Tangan
"Saya jadi tentara ingin bisa membuat nama baik keluarga saya," kata Prada Yulian menceritakan alasannya menjadi seorang prajurit TNI, dilansir TribunJakarta.com dari Youtube TNI AD, Kamis (26/8/2021).
Tak sebatas mengajari baca dan menghitung, Prada Yulian dan Anggota Satgas Pamtas Yonif Mekanis 643/WNS juga mengajari tentang nilai-nilai nasionalisme kepada anak-anak perbatasan ini.
Kegiatan belajar ini pun juga tak melulu di ruangan, tetapi juga diselingi dengan kegiatan di ruang terbuka dengan konsep belajar sambil bermain.

"Sesuai dengan tugas pokok kita mengamankan perbatasan dan menanamkan nasionalisme karena ini masyarakat perbatasan.
Di kondisi pandemi, mereka tidak bisa berkegigatan dengan normal akhirnya kita harus menanamkan nasioalisme agar mereka tidak berpindah ke tetangga sebelah," ujar Danyonif Mekanis 643/WNS, Letkol Inf Hendro Wicaksono.
Bagi Prada Yulian, ada kebanggaan tersendiri ketika bisa terlibat mengajar para anak-anak di perbatasan.
Dia berharap anak-anak yang diajarnya dan para anak-anak di sejumlah daerah perbatasan dan pedalaman tanah air bisa mendapatkan haknya untuk kemajuan hidupnya.
"Saya mengajak mereka agar kedepannya mereka itu bisa," kata Prada Yulian.
Untuk adik-adik saya di Monokwari, adik-adik saya juga bisa seperti saya, karena kami orang Papua bagian dari Indonesia, NKRI harga mati," tegasnya.
Baca juga: Gigihnya Perjuangan Anak Tukang Bakso Demi Masuk TNI, 6 Kali Gagal Akhirnya Berhasil Jadi Tentara
Serda Luis Fernando, anak keturunan Suku Dayak yang juga menjadi bagian Satgas Pamtas Yonif Mekanis 643/WNS juga mengemukakan hal yang sama.
"Mereka lihat, kalau saya bisa jadi apa yang saya inginkan.
Saya harapkan mereka juga bisa dan bermanfaat bagi anak-anak lainya, khususnya anak-anak Dayak," kata Serda Luis.

Kisah Relawan Bangun Jembatan di Pedalaman
Infrastruktur di sejumlah desa terpencil mapun pedalaman tanah air masih menjadi sesuatu yang belum tersentuh.
Salah satunya tentang keberadaan jembatan yang dibutuhkan warga di desa untuk mobilitas mereka.
Tak sedikit pula masyarakat harus bertaruh dengan maut ketika harus melakukan aktivitasnya.
Termasuk para pelajar yang harus menyeberangi sungai dengan arus yang deras demi bisa sampai ke sekolahnya.
Hal itu menjadi salah satu yang menginspirasi relawan Vertical Rescue Indonesia untuk membuat program bertajuk Ekspedisi 1000 Jembatan Gantung Untuk Indonesia.
Dilansir dari akun Youtube TNI AD, Komandan Vertical Rescue Indonesia, Tedi Ixdiana mengatakan, komunitasnya sudah mulai melakukan aksi sosial sejak tahun 2015 silam.
Baca juga: Cerita Tukang Bakso Kebingungan Temukan Anaknya Saat Kelulusan TNI AD: Mukanya Loreng Semua
Hal itu setelah pihaknya berhasil membuat jembatan gantung ketika melakukan pendakian di Pegunungan Cartenz.
"Karena ketika mau ke puncak harus seberangi juran
Pas kunjungan kelima inisiatif buat jembatan dengan gunakan tali baja dan itu jembatan yang dihadiahkan dari Indonesia untuk dunia.
Tepatnya jembatan tertinggi di daratan Australia dan Oceania," tutur Tedi dilansir TribunJakarta.com dari akun Youtube TNI AD, Senin (9/8/2021).

Kemudian kemunculan bencana banjir bandang di Garut, Jawa Barat pada tahun 2016 menjadi tonggak sejarah bagi komunitas ini untuk membuat jembatan gantung.
"Saat itu ada masyarakat yang bersurat untuk minta dibuatkan jembatan. Padahal jembatan yg dibuat Vertical Rescue itu jembatan untuk pendaki," papar Tedi mengisahkan kegiatan komunitasnya.
Lantaran dirasa keberadaan jembatan begitu penting bagi masyarakat, lanjut Tedi, pihaknya akhirnya membangun jembatan gantung yang dilapisi dengan papan di lokasi bekas banjir bandang kawasan Garut tersebut.
"Alhamdulilah dalam waktu 3 hari jembatan di Sungai Cimanuk ini dapat terbentang dan bisa digunakan masyarakat," ujar Tedi.
Ekspedisi 1000 Jembatan Gantung
Merasa bantuan jembatan gantung yang dibuatnya ternyata sangat bermanfaat bagi masyarakat umum, komunitas ini akhirnya membuat ekspedisi bertajuk 1000 Jembatan Gantung untuk Indonesia.
Baca juga: Kisah Relawan Bangun Jembatan di Pedalaman, Sering Terenyuh Dengar Kesedihan Ibu yang Anaknya Hanyut
Saat ini banyak jembatan gantung di pedalaman Indonesia yang telah dibangun oleh komunitas ini.
Adapun dana pembangunan jembatan ini merupakan partisipasi dari banyak pihak, tentunya tak menggunakan anggaran dari pemerintah.
Sedangkan untuk pembangunan jembatan gantung tersebut paling cepat 5 hari dan paling lama 15 hari tergantung tingkat kesulitan dan kontur medan yang ada di daerah tersebut.
Sementara itu, yang membuat Tedi terenyuh adalah tak sedikit dia mendengar cerita dari seorang warga yang harus kehilangan anggota keluarganya karena tak adanya jembatan di wilayah tempat tinggalnya.
"Ketika datang di satu tempat, saya pernah mendengar ibu bercerita bahwa anaknya berangkat sekolah dan tak pernah kembali agi.
Sekian hari ditemukan di sungai, ternyata anak ini jatuh dan hanyut ketika menyeberang," ujar Tedi.