Sidang Kasus Asabri Diminta Dilakukan Terpisah, Kuasa Hukum Ungkap Hal Penting
Para terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri memiliki alasan kuat untuk tidak mau disidangkan secara bersama-sama dalam satu waktu.
TRIBUNJAKARTA.COM - Para terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri memiliki alasan kuat untuk tidak mau disidangkan secara bersama-sama dalam satu waktu.
Hal ini dinilai tidak akan berjalan efektif dan akan mengaburkan peran masing-masing.
Ini bisa juga menyebabkan terjadinya kericuhan pada persidangan kasus dugaan korupsi PT Asabri
Seperti yang disampaikan Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro yaitu Fajar Gora pada kepada wartawan Kamis (16/9/2021) bahwa hak para terdakwa jika tidak ingin disidangkan secara bersamaan.
Ia pun mengungkap alasan-alasan keberatan kliennya jika disidangkan bersama-sama.
"Nomor perkara dari 8 terdakwa tersebut kan berbeda. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda," kata Fajar.

Menurutnya aneh, jika perkara tersebut diperiksa secara bersamaan.
"Bahkan, majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini juga cuma satu," ujarnya.
Baca juga: Penyidik Kejagung Terus Kejar Aktor Utama Kasus Dugaan Korupsi Asabri
Selain itu, jika perkara tersebut digabungkan maka akan memakan waktu sangat lama dan bisa berpengaruh terhadap putusan hakim.
"Mungkin saja, karena terlalu lelah maka bisa saja berpengaruh tidak saja pada majelis hakim, tapi juga saksi, dan penasehat hukum para terdakwa," katanya.
Ia pun membandingkan dengan kasus manajer investasi Jiwasraya yang disidangkan secara terpisah.
"Di mana ada 13 terdakwa, namun banyak majelis hakim yang menyidangkan, sehingga sidang dapat dilakukan secara terpisah dan efektif," katanya.
Senada kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk juga menyebutkan bahwa keberatan yang disampaikan oleh para kuasa hukum bukanlah untuk membuat kericuhan namun bagian dari usaha membela hak-hak para terdakwa.

"Alasan kami untuk menolak sidang bersamaan sangat jelas, yang pertama sebagaimana diketahui berkas perkara 8 terdakwa dilimpahkan ke pengadilan secara terpisah sehingga ada 8 nomor perkara," ujar Kresna.
Menurutnya, dengan adanya perbedaan nomor perkara tentunya sidang harus dilakukan secara terpisah sebagaimana nomor perkara masing-masing terdakwa.